11 June 2008

Makanan Terbaik Penurun Kolesterol



KEBIASAAN dan jenis makanan yang dikonsumsi sehari-hari berperan penting dalam memengaruhi kadar kolesterol darah Anda. Semakin baik pola dan kualitas makanan Anda sehari-hari, tentu makin terjaga pula keseimbangan kolesterol dan kesehatan Anda secara keseluruhan .

Bagi Anda yang ingin terhindar dari masalah kolesterol ada baiknya mulai mempertimbangkan mengonsumsi makanan sehat antikolesterol. Berikut adalah lima makanan terbaik menurut Mayo Clinic yang mampu membantu menurunkan kolesterol dan melindungi jantung serta pembuluh darah Anda.

1. Bubur gandum/oatmeal
Oatmeal mengandung serat yang larut (soluble fiber) yang dapat menurunkan kolesterol buruk (low-density lipoprotein /LDL) Anda. Soluble fiber juga ditemukan pada jenis makanan lain, seperti kacang ginjal (kidney beans), apel, buah pir, barley, dan buah prunes. Serat yang larut diyakini mampu menurunkan penyerapan kolesterol dalam pencernaan Anda. Mengonsumsi 10 gram lebih serat larut setiap hari dapat menurunkan kadar total LDL. Setiap 1 1/2 cangkir oatmeal matang yang Anda makan mengandung 6 gram serat. Jika Anda tambahkan buah seperti pisang, Anda menambah 4 gram lebih serat .

2. Kacang walnuts, almonds dan jenis lainnya
Berbagai studi menunjukkan bahwa walnut secara signifikan menurunkan kolesterol dalam darah. Kacang ini mengandung banyak asam lemak tak jenuh ganda (polyunsaturated fatty acids) yang dapat membuat pembuluh darah tetap sehat dan elastis. Kacang Almond juga memiliki faedah yang tidak terlalu beda, di mana penurunan kolesterol dapat Anda rasakan setelah sekitar empat minggu.

Diet untuk menurunkan kolesterol di mana 20 sumber kalorinya berasal dari walnut diklaim mampu menurunkan kadar kolesterol LDL hingga 12 persen. Namun kacang-kacangan umumnya berkalori tinggi sehingga dengan hanya sekitar segenggam (tidak lebih dari 2 ons atau 57 gram) akan bermanfaat.

Namun perlu diingat bahwa ketika Anda mengonsumsinya dengan makanan lain jangan berlebihan. Makan berlebih justru membuat Anda kegemukan dan memicu risiko jantung.

3. Ikan dan asam lemak omega-3
Banyak riset yang mendukung manfaat mengonsumsi ikan dalam menurunkan kolesterol karena makan ikan karena kandungan asam lemak omega-3 yang tinggi. Asam lemak Omega-3 juga membantu jantung dengan beragam cara seperti menurunkan tekanan darah dan menekan risiko pembekuan darah. Pada pasien yang sudah mengalami serangan jantung, minyak ikan atau asam lemak omega-3 secara signifikan menurunkan risiko kematian mendadak .

Para dokter biasanya merekomendasikan untuk memakan ikan minimal dua kali dalam semingguu. Sumber makanan yang kaya omega-3 terdapat pada makarel, ikan herring, sarden, tuna albacore dan salmon.

Perlu diingat, untuk mempertahankan faedah ikan bagi kesehatan, sebaiknya ikan dipanggang atau dibakar dalam oven. Jika tidak suka ikan, Anda juga bisa mempeoleh omega-3 dari makanan lain seperti ground flaxseed atau canola oil.

Anda juga dapat memperoleh omega-3 atau minyak ikan dari suplemen, tetapi tentu tidak akan mendapatkn semua nutrien penting dalam ikan seperti selenium. Bila Anda memutuskan memakan suplemen, ingatlah untuk tetap memperhatikan pola makan Anda dan makanlah daging yang rendah lemak atau sayuran untuk menggantikan ikan.

4. Minyak Zaitun/Olive Oil
Minyak Zaitun atau olive oil mengandung campuran antioksidan potensial yang dapat menekan kolesterol tanpa mengganggu kadar kolesterol baik (HDL) Anda .

Badan Pengawas Makanan AS (FDA) merekomendasikan untuk mengonsumi sekitar 2 sendok makan (23 gram) olive oil setiap hari untuk menjaga jantung tetap sehat. Untuk menambah olive oil dalam daftar menu, Anda bisa mencampunya dengan sayuran, bumbu cair, atau mencampurnya dengan cuka sebagai pelengkap salad. Anda juga dapat menggunakan olive oil as sebagai pengganti mentega ketika memoles daging.

Beberapa riset menyarankan bahwa efek olive oil dalam menurunkan kolesterol akan lebih besar jika Anda memilih extra-virgin olive oil atau minyak zaitun ekstra murni. Minyak jenis ini tidak melewati proses pengolahan dan penambahan zat kimia yang diyakini mengandung lebih banyak antioksidan menyehatkan. Sebaiknya hindari "light" olive oil karena biasanya jenis ini sudah melewati beragam proses pengolahan sehingga faedahnya tidak akan maksimal.

5. Makanan yang difortifikasi atau diperkaya sterol dan stanol tumbuhan.
Banyak makanan yang kini telah difortifikasi dengan sterol atau stanol — zat dalam tumbuhan yang membantu menahan penyerapan kolesterol.

Margarin, jus jeruk, atau yogurt ada yang sudah difortifikasi dengan sterol yang bisa menurunkan LDL kolesterol hingga 10 persen. Jumlah sterol tumbuhan yang dibutuhkan untuk mencapai target itu sedikitnya 2 gram yang setara dengan dua porsi (237 mililter) jus jeruk dengan fortifikasi sterol dalam sehari.

Sterol atau stanol tumbuhan yang ditambahkan dalam makanan tidak akan memengaruhi kadar trigliserida atau pun HDL. Sterol atau stanol juga tidak akan mengganggu penyerapan vitamin yang larut dalam lemak seperti A, D, E and K.

Sumber: Kompas.com

01 April 2008

Bolehkah Wanita Menjenguk Laki-laki yang Sakit?




Oleh: Asy Syaikh Yahya bin Ali Al Hajuri

Pertanyaan:
Apakah boleh bagi seorang wanita untuk menjenguk laki-laki apabila tidak ada fitnah?

Jawab:
Boleh bagi wanita untuk mengunjungi laki-laki dari belakang tabir, menanyakan keadaannya dengan tanpa lemah lembut pada perkataannya,

“Maka janganlah kamu tunduk dalam berbicara sehingga berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam hatinya” (Al-Ahzab: 32).

Yang demikian itu tidak apa. Pernah ‘Aisyah mengunjungi Bilal ketika Bilal pergi ke Madinah dan ‘Aisyah mendengar Bilal mengatakan,

Duhai apakah aku benar-benar akan bisa bermalam semalam
sedang di sekitarku ada yang hina dan yang mulia
Dan apakah aku akan mendatangi air majannah pada suatu hari
Dan apakah akan tampak bagiku Syamah dan Thufail.

Bilal merindukan negeri tersebut, negeri Mekkah yang di sana ada kesehatan. Demikian pula Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu, beliau sakit ketika pergi ke Madinah dan mengatakan:

Setiap orang pada pagi hari bersama keluarganya
Dan kematian itu lebih dekat daripada tali sandalnya

Maka lihatlah keadaan ketika mereka sakit. Bagaimana ucapan mereka bisa menjadi baik, tidak ada di dalamnya kecuali apa-apa yang membuat ridha Allah ‘azza wa jalla. Dan dalil pada masalah ini bahwasanya boleh bagi wanita untuk mengunjungi laki-laki dari belakang tabir apabila aman dari fitnah.(*)

(Dinukil untuk http://ulamasunnah.wordpress.com dari buku Berbahagialah Muslim yang Sakit. Penerjemah:Abu Muhammad Farhan Al-Bantuli dan Abu Umar Urwah Al-Bankawy, Muraja’ah: Al-Ustadz Fuad, Penerbit Al-Ilmu, Jogjakarta)
http://ulamasunnah.wordpress.com/2008/04/01/bolehkah-wanita-menjenguk-laki-laki-yang-sakit/

31 March 2008

Bolehkah Ber-KB Untuk Kepentingan Tarbiyah Anak?



Oleh: Asy Syaikh Shalih bin Fauzan Al Fauzan

Tanya: Apakah dibolehkan menggunakan obat pencegah kehamilan untuk mengatur/menjarangkan kehamilan dengan tujuan agar dapat mendidik anak yang masih kecil?

Jawab:
Fadhilatusy Syaikh Shalih bin Fauzan Al-Fauzan hafizhahullah menjawab, “Tidak boleh menggunakan obat pencegah kehamilan kecuali dalam keadaan darurat, apabila memang pihak medis/dokter menyatakan kehamilan berisiko pada kematian ibu.

Namun menggunakan obat pencegah kehamilan dengan tujuan menunda sementara kehamilan yang berikutnya, tidaklah terlarang bila memang si ibu membutuhkannya. Misalnya karena kondisi kesehatannya tidak memungkinkan untuk hamil dalam interval/jarak waktu yang berdekatan, atau bila si ibu hamil lagi akan memudaratkan anak/bayinya yang masih menyusu. Dengan ketentuan, obat tersebut tidak memutus/menghentikan kehamilan sama sekali, tapi hanya sekedar menundanya. Bila memang demikian tidaklah terlarang sesuai dengan kebutuhan yang ada, dan tentunya setelah mendapat saran dari dokter spesialis kandungan.” (Al-Muntaqa min Fatawa Fadhilatisy Syaikh Shalih bin Fauzan, 3/175)

 http://ulamasunnah.wordpress.com/2008/03/31/bolehkah-ber-kb-untuk-kepentingan-tarbiyah-anak/

23 February 2008

Rahasia di Balik Sakit



Hidup ini tidak lepas dari cobaan dan ujian, bahkan cobaan dan ujian merupakan sunatullah dalam kehidupan. Manusia akan diuji dalam kehidupannya baik dengan perkara yang tidak disukainya atau bisa pula pada perkara yang menyenangkannya. Allah Ta'ala berfirman yang artinya, "Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Kami akan mengujimu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya). Dan hanya kepada Kami-lah kamu dikembalikan." (QS. al-Anbiyaa': 35). Sahabat Ibnu 'Abbas -yang diberi keluasan ilmu dalam tafsir al-Qur'an- menafsirkan ayat ini: "Kami akan menguji kalian dengan kesulitan dan kesenangan, kesehatan dan penyakit, kekayaan dan kefakiran, halal dan haram, ketaatan dan kemaksiatan, petunjuk dan kesesatan". (Tafsir Ibnu Jarir). Dari ayat ini, kita tahu bahwa berbagai macam penyakit juga merupakan bagian dari cobaan Allah yang diberikan kepada hamba-Nya. Namun di balik cobaan ini, terdapat berbagai rahasia/hikmah yang tidak dapat di nalar oleh akal manusia.

Sakit menjadi kebaikan bagi seorang muslim jika dia bersabar


Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda yang artinya, "Sungguh menakjubkan perkara seorang mukmin, sesungguhnya semua urusannya merupakan kebaikan, dan hal ini tidak terjadi kecuali bagi orang mukmin. Jika dia mendapat kegembiraan, maka dia bersyukur dan itu merupakan kebaikan baginya, dan jika mendapat kesusahan, maka dia bersabar dan ini merupakan kebaikan baginya." (HR. Muslim)

Sakit akan menghapuskan dosa

Ketahuilah wahai saudaraku, penyakit merupakan sebab pengampunan atas kesalahan-kesalahan yang pernah engkau lakukan dengan hati, pendengaran, penglihatan, lisan dan dengan seluruh anggota tubuhmu. Terkadang penyakit itu juga merupakan hukuman dari dosa yang pernah dilakukan. Sebagaimana firman Allah Ta'ala, "Dan apa saja musibah yang menimpamu maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu)." (QS. Asy-Syuura: 30). Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,"Tidaklah menimpa seorang mukmin rasa sakit yang terus menerus, kepayahan, penyakit, dan juga kesedihan, bahkan sampai kesusahan yang menyusahkannya, melainkan akan dihapuskan dengannya dosa-dosanya. (HR. Muslim)

Sakit akan Membawa Keselamatan dari Api Neraka

Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda yang artinya," Janganlah kamu mencaci maki penyakit demam, karena sesungguhnya (dengan penyakit itu) Allah akan mengahapuskan dosa-dosa anak Adam sebagaimana tungku api menghilangkan kotoran-kotoran besi." (HR. Muslim).

Oleh karena itu, tidak boleh bagi seorang mukmin mencaci maki penyakit yang dideritanya, menggerutu, apalagi sampai berburuk sangka pada Allah dengan musibah sakit yang dideritanya. Bergembiralah wahai saudaraku, sesungguhnya Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Sakit demam itu menjauhkan setiap orang mukmin dari api Neraka." (HR. Al Bazzar, shohih)

Sakit akan mengingatkan hamba atas kelalaiannya


Wahai saudaraku, sesungguhnya di balik penyakit dan musibah akan mengembalikan seorang hamba yang tadinya jauh dari mengingat Allah agar kembali kepada-Nya. Biasanya seseorang yang dalam keadaan sehat wal 'afiat suka tenggelam dalam perbuatan maksiat dan mengikuti hawa nafsunya, dia sibuk dengan urusan dunia dan melalaikan Rabb-nya. Oleh karena itu, jika Allah mencobanya dengan suatu penyakit atau musibah, dia baru merasakan kelemahan, kehinaan, dan ketidakmampuan di hadapan Rabb-nya. Dia menjadi ingat atas kelalaiannya selama ini, sehingga ia kembali pada Allah dengan penyesalan dan kepasrahan diri. Allah Ta'ala berfirman yang artinya, "Dan sesungguhnya Kami telah mengutus (para rasul) kepada umat-umat sebelummu, kemudian Kami siksa mereka dengan (menimpakan) kesengsaraan dan kemelaratan, supaya mereka memohon (kepada Allah) dengan tunduk merendahkan diri. (QS. Al-An'am: 42) yaitu supaya mereka mau tunduk kepada-Ku, memurnikan ibadah kepada-Ku, dan hanya mencintai-Ku, bukan mencintai selain-Ku, dengan cara taat dan pasrah kepada-Ku. (Tafsir Ibnu Jarir)

Terdapat hikmah yang banyak di balik berbagai musibah


Wahai saudaraku, ketahuilah di balik cobaan berupa penyakit dan berbagai kesulitan lainnya, sesungguhnya di balik itu semua terdapat hikmah yang sangat banyak. Maka perhatikanlah saudaraku nasehat Ibnul Qoyyim rahimahullah berikut ini: "Andaikata kita bisa menggali hikmah Allah yang terkandung dalam ciptaan dan urusan-Nya, maka tidak kurang dari ribuan hikmah (yang dapat kita gali, -ed). Namun akal kita sangatlah terbatas, pengetahuan kita terlalu sedikit dan ilmu semua makhluk akan sia-sia jika dibandingkan dengan ilmu Allah, sebagaimana sinar lampu yang sia-sia di bawah sinar matahari."

Ingatlah saudaraku, cobaan dan penyakit merupakan tanda kecintaan Allah kepada hamba-Nya. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Sesungguhnya Allah ta'ala jika mencintai suatu kaum, maka Dia akan memberi mereka cobaan." (HR. Tirmidzi, shohih). Ya Allah, anugerahkanlah kepada kami keyakinan dan kesabaran yang akan meringankan segala musibah dunia ini. Amin.

***
 

26 January 2008

SIWAK (Pembersih Mulut yang Diridhai Allah)



Penulis: Abul Abbas Khadhir Al-Limbory
http://darussalaf.org/stories.php?id=899

MUQADDIMAH

Bismillahirrahmanirrahiim

Segala puji hanya milik Allah –Subhanahu wa ta’ala-, kami memuji-Nya, meminta pertolongan kepada-Nya dan meminta ampunan-Nya. Kami berlindung kepada Allah dari kejahatan jiwa-jiwa kami dan dari kejelekan amalan-amalan kami. Barangsiapa yang diberi petunjuk oleh Allah maka tidak ada yang akan bisa menyesatkannya dan barangsiapa yang disesatkan oleh Allah maka tidak yang bisa memberinya petunjuk. Saya bersaksi bahwa tidak ada Ilah (sesembahan) yang benar kecuali Allah semata yang tidak ada sekutu bagi-Nya dan saya bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan Rasul-Nya.

Amma ba’du

Tulisan ini merupakan tulisan revisi dari tulisan kami, yang sebelumnya telah dimuat di situs Ahlussunnah Indonesia www.darussalaf.or.id dengan kami memberikan beberapa tambahan faedah. Dan kami beri judul “SIWAK Pembersih Mulut yang di Ridhai Allah” Dan ucapan terima kasih kami haturkan kepada team pengasuh website www.darussalaf.or.id yang telah membantu tersebarnya tulisan ini, juga ucapan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu hingga risalah ini dapat terselesaikan dengan baik, semoga Allah membalas mereka semua dengan kebaikan yang banyak.
Apabila dalam risalah ini terdapat kesalahan maka kami sangat mengharapkan agar kiranya kesalahan tersebut tidak dijadikan sebagai peluang untuk menjelek-jelekkan sauadaranya sesama muslim, tapi yang sangat kami harapkan agar kesalahan tersebut disampaikan terlebih dahulu kepada kami sehingga kami bisa melalukan pembenahan.
Semoga Allah –‘Azza wa Jalla- menjadikan tulisan ini bermanfaat dan menjadikannya murni semata-mata untuk mengharapkan Wajah-Nya.
Maha Suci Rabbmu Pemilik segala kemuliaan dari apa yang mereka sifatkan. Keselamatan bagi para rasul. Segala puji bagi Allah Rabb semesta alam.” (Ash-Shaffat: 180-182)
Surabaya, 15 Sya’ban 1428 H
28 Agustus 2007 M
Abul Abbas Khadhir Al-Limbory


SIWAK
PEMBERSIH MULUT YANG DIRIDHAI ALLAH

I. SIWAK DAN KEUTAMAANYA
1.1 Pengertian Siwak
Siwak jika di kasrah huruf sin-nya maka bermakna suatu kayu yang dipakai untuk menggosok gigi. (Taisirul 'Allam: 1/39 dan Ihkamul Ahkam, hal. 55)
1). Siwak memiliki dua makna yaitu: Bermakna Fi’il yaitu perbuatan untuk menggosok gigi atau untuk membersihkan mulut. (Subulussalam Syarh Buluughul Maraam: 1/63 dan Fathul Baariy: 1/422)
2). Bermakna alat yaitu alat atau kayu yang dipakai untuk menggosok gigi. (Taisirul 'Allam: 1/39, Subulussalam Syarh Buluughul Maraam: 1/63 dan Fathul Baary: 1/422)
Siwak adalah suatu perkara yang disyari'atkan, yaitu dengan menggunakan batang atau semisalnya. (Al-Mulakhkhas Al-Fiqhiy: 1/29)
1.2 Manfaat dari Bersiwak
1). Untuk membersihkan mulut dan diridhai oleh Allah –‘Azza wa Jalla-, dari Aisyah –radhiyallahu ‘anha- bahwa Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda: "Siwak itu
pembersih mulut dan diridhai Allah.” (HR. Bukhari Kitabus Shiyam Bab 27, Ad-Darimy juz I Kitabul Wudhu bab 19 hal. 174, Ahmad dalam Al-Musnad juz I hal. 3 dari Abu Bakar dan hal. 10, dan An-Nasai juz I Kitabut Thaharahi Bab.4. Dan hadits ini dishahihkan oleh Syaikh Al-Albany di dalam Shahihil Jami' no. hadits 3695).
2). Untuk menghilangkan warna kekuning-kuningan yang menempel pada gigi dan untuk menghilngkan bau mulut. (Taisirul 'Allam, hal. 39, Subulussalam Syarh Buluughul Maraam: 1/63, Fathul Baary: 1/422 dan At-Ta’liqat Ar-Radhiyah: I/68).
3). Samahatusy Syaikh Ibnu Baz –rahimahullah- berkata:
“Siwak memiliki banyak manfaat, diantaranya:
√ Membersihkan mulut
√ Mengatasi bau tidak sedap pada mulut
√ Mengiatkan hamba untuk beramal
√ Menghilangkan ngantuk. Dan masih banyak lagi manfaatnya.” (Syahr Riyadhus Shalihin: 3/265)
4). Al-Imam Ibnu Qayyim –rahimahullah- berkata:
“Siwak memiliki banyak manfaat diantaranya:
√ Mengharaumkan mulut dan menguatkan gigi dan gusi
√ Memutus adanya liur
√ Mencerahkan penglihatan
√ Menghilangkan penyakit perut
√ Menyehatkan perut dan lambung
√ Memperindah suara
√ Mempermudah ketika mencerna makanan (menambah selera makan)
√ Mudah ketika berbicara
√ Giat untuk membaca, berdzikir dan shalat
√ Menghilangkan rasa ngantuk
√ Diridhai Allah
√ Disegani malaikat
√ Memperbanyak kebaikan. (Tamamul Minnah: 1/61).
1.3 Hukum Bersiwak
Dari Abu Hurairah -radhiyallahu 'anhu-, dari Nabi -shallallahu 'alaihi wasallam-, Beliau bersabda: "Kalaulah tidak memberatkan umatku, sungguh aku akan perintahkan mereka untuk bersiwak setiap akan wudhu.” (HR. Malik:1/66, Al Baihaqi:1/35, Ibnu Huzaimah:1/73 dan dishahihkan oleh Syaikh Al-Albany di dalam Shahihil Jami' no. 5317, shahihut Targhib no. 201 dan Al-Irwa': 1/109).
Pada hadits ini terdapat tiga pendapat dikalangan para ulama:
1). Sebagian Ushuliyyin berdalil dengan hadits ini bahwasanya setiap perintah menunjukkan wajib hukumnya, dan segi pengambilan dalil mereka adalah: Kalimat “Laula” (kalaulah), menunjukkan atas peniadaan sesuatu karena ada sesuatu yang lain, maka menunjukkan atas peniadaan suatu perintah karena ada rasa berat, bahwa peniadaan karena rasa berat itu bukanlah sunnah, sesungguhnya sunnah siwak itu telah tetap (dilakukan) ketika setiap akan shalat, maka menuntut yang demikian itu bahwa perintah menunjukan wajib.
2). Bersiwak adalah mustahab (sunnah) hukumnya pada beberapa keadaan, termasuk didalamnya adalah apa yang menunjukkan atas disunnahkannya adalah hadits ketika seseorang berdiri untuk shalat, dan rahasia permasalahan dianjurkannya bersiwak ketika hendak akan shalat adalah kita diperintah dalam setiap keadaan supaya beramal sebaik mungkin tatkala beribadah kepada Allah -'Azza wa Jalla-. Dan ada yang berkata: (Karena) permasalahan ini berkaitan dengan para malaikat, sebab malaikat merasa terganggu dengan bau yang tidak sedap (yang berasal dari gigi dan mulut).Hadits dengan keumumannya menunjukkan atas disunnahkannya bersiwak ketika hendak shalat.” (Ihkamul Ahkam: I/55-56)
3). Mayoritas ulama berpendapat bahwa bersiwak hukumnya adalah sunnah, dan menjadi sunnah muakkad pada waktu-waktu tertentu. (Taisirul ‘Allam: 1/39, Al-Umm: 1/35, Subulus Salam: 1/63, Fathul bary: 1/9 dan Al-Mulakhas Al-Fiqhiy: 1/29).
Adapun apabila ada yang berpendapat bahwa bersiwak hukumnya adalah wajib dan berhujjah dengan hadits: “Wajib atas kalian untuk bersiwak, karena dengan bersiwak akan membersihkan mulut dan diridhai oleh Allah –Tabaraka wata’ala-“ (HR. Ahmad: 2/09, lihat Ash-Shahihah: 2517), maka perlu diketahui bahwa suatu perintah yang dia itu menunjukkan suatu kewajiban akan berubah hukumnya menjadi mustahab (sunnah) apabila ada suatu dalil yang memalingkannya kepada yang sunnah, Al-Imam Syaukani –rahimahullah- berkata: “Bersiwak adalah hukumnya sunnah, dan dalilnya adalah hadits yang sudah mutawatir baik itu berupa perkataan Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam-, perbuatannya dan tidak ada perbedaan pendapat (dikalangan kami) tentang yang demikian itu.” (Ad-Darari Al-Mudhiyah, hal. 48 dan At-Ta’liqat Ar-Radhiyah: 1/168).
Al-Imam Ibnu Qudamah –rahimahullah- berkata: “Mayoritas ulama berpandangan bahwa bersiwak hukumnya adalah sunnah, bukan wajib, kami tidak mengetahui ada seorang pun yang berpendapat bahwa bersiwak itu wajib kecuali Ishaq dan Dawud Azh-Zhahiri.” (Al-Mughni: 1/119).
1.3 Syari'at Siwak
Bersiwak adalah termasuk dari bagian dari sunnah para Rasul, sebagaimana hadits dari Abu Ayyub –radhiyallahu 'anhu- : "Ada empat hal yang termasuk dari sunnah para Rasul; Memakai minyak wangi, menikah, bersiwak dan malu” (HR. Ahmad; 23470 dan Tirmidzi: 1081, dan beliau berkata: Hadits ini hasan gharib).
Asy-Syaikh DR. Shalih Fauzan –hafidzahullah- berkata: "Orang yang pertama kali bersiwak adalah Nabi Ibrahim -'alaihis salam-. Rasulullah -Shallallahu 'alaihi wasallam- menjelaskan bahwa bersiwak dapat membersihkan mulut, yakni membersihkan dari hal-hal yang tidak disukai, (bersiwak) juga sebagai penyebab datangnya ridha Allah, yakni menjadikan Allah -Subhanahu wa ta'ala- menjadi ridha. Dalam anjuran mengamalkannya telah terdapat lebih dari seratus hadits. semuanya menunjukkan bahwa bersiwak adalah sunnah muakkadah. Syariat telah menganjurkan dan menghimbau untuk diamalkan. Siwak memiliki beberapa faedah yang sangat besar, diantaranya yang paling besar adalah yang telah dianjurkan oleh hadits: "Siwak itu pembersih mulut dan diridhai Allah” (HR. Bukhari Kitabus Shiyam Bab 27, Ad-Darimy juz I Kitabul Wudhu bab 19 hal. 174, Ahmad dalam Al-Musnad juz I hal. 3 dari Abu Bakar dan hal. 10, dan An-Nasai juz I Kitabut Thaharahi Bab.4. Dan hadits ini dishahihkan oleh Syaikh Al-Albany di dalam Shahihil Jami' no. hadits 3695). Bersiwak adalah dengan menggunakan batang yang lembut dari pohon arak, zaitun, urjun atau yang semisalnya yang tidak menyakiti atau melukai mulut” (Al-Mulakhkhas Al-Fiqhy: 1/30 dan Akhshar Al-Mukhtashar, hal. 9).
1.4 Waktu-waktu Disunnahkannya Bersiwak
Asy-Syaikh DR. Shalih Fauzan berkata: “Bersiwak disunnahkan disetiap keadaan, bahkan sekalipun yang berpuasa disepanjang harinya, demikianlah pendapat yang benar. dan menjadi sunnah muakadah pada waktu tertentu” (Al-Mulakhkhas Al-Fiqhy: 1/30)
Keterangan dari perkataan diatas:
Disunnahkan bersiwak dalam setiap keadaan. (Syahr Riyadhus Shalihin: 3/264, Al-Mulakhkhas Al-Fiqhy: 1/30, Akhshar Al-Mukhtashar, hal. 92, Al-Umm: 1/35) dan Al-‘Uddah Syarh ‘Umdah, hal. 34).Asy-Syaikh Ibnu ‘Aqil berkata: “Tidak ada perbedaan pendapat para ulama mazhab (dikalangan kami) bahwasanya bersiwak tidak disunnahkan bagi orang yang berpuasa setelah matahari tergelincir” (Al-‘Uddah Syarh ‘Umdah, hal. 35).
Apabila ada orang yang berpendapat disunnahkannya bersiwak walaupun dalam keadaan berpuasa dan berdalil dengan hadits ‘Amir bin Rabi’ah: “Aku melihat Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- dalam beberapa kali yang tidak bisa aku hitung, beliau bersiwak dalam keadaan berpuasa.” Maka pendalilan tersebut tertolak karena hadits yang dijadikan dalil adalah hadits dho’if, sebagaimana telah didho’ifkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Dho’if Abi Dawud; 551, Dho’if At-Tirmidzi; 16 dan lihat Al-Irwa’; 68).
Dan pendapat yang benar adalah sebagaimana yang dikatakan oleh Asy-Syaikh DR. Shalih Fauzan dan para ulama selain beliau, bahwa bersiwak dalam keadaan berpuasa adalah boleh dan disunnahkan. (Al-Mulakhkhas Al-Fiqhy: 1/30). Perkara tersebut karena ketidak adanya dalil yang melarang untuk bersiwak ketika sedang berpuasa baik itu sebelum matahari tergelincir atau setelah matahari tergelincir, namun yang ada hanyalah anjuran untuk bersiwak dalam konteks umum (yakni bersiwak disetiap waktu atau setiap keadaan). Wallahu a’lam bish shawab.
Ringkasnya: “Boleh bagi orang yang berpuasa untuk bersiwak baik itu sebelum matahari tergelincir atau setelah matahari tergelincir” (Tamamul Minnah: 1/60). Adapun diantara waktu-waktu yang sunnah muakkad untuk bersiwak ada beberapa perkataan para ulama:
1). Al-Imam Abdurrahman bin Ibrahim Al-Maqdisy –rahimahullah- berkata: “Bersiwak akan menjadi sunnah muakkad pada tiga tempat:
√ Ketika terjadi perubahan bau mulut, karena sesungguhnya asal disunnahkannya bersiwak karena untuk menghilangkan bau (tidak sedap) pada mulut.
√ Ketika bangun dari tidur, sebagaimana hadits Khudzaifah Ibnul Yaman: Dari Hudzaifah Ibnul Yaman -radhiyallahu 'anhu-, beliau berkata: Jika Rasulullah -shallallahu'alaihi wa sallam- bangun malam, beliau
menggosok (membersihkan) mulutnya dengan siwak." (HR.
Bukhari; 245 dan Muslim; 255).
√ Ketika setiap akan shalat, dengan hujjah hadits Abu Hurairah: Dari Abu Hurairah -radhiyallahu 'anhu-, dari Nabi -shallallahu 'alaihi wasallam-, Beliau bersabda: "Seandainya tidak memberatkan umatku, sungguh aku akan perintahkan mereka untuk bersiwak setiap akan shalat." (HR. Bukhari (2/374/887), Muslim (1/220/252) dan Tirmidzi (1/18/22) lihat Shahihul jami' No. Hadits 5315).
2). Al-Imam An-Nawawy berkata: “Bersiwak hukumnya mustahab dilakukan pada setiap waktu, tetapi lebih ditekankan lagi pada waktu yang lima, yaitu ketika setiap akan shalat, ketika setiap akan wudhu, ketika membaca Al-Qur’an, katika bangun tidur dan ketika mulut sudah mulai berbau.” (Bagaimana Seorang Muslim Mengenal Agamanya, hal. 310).
3). Samahatusy Syaikh Ibnu Baz –rahimahullah- berkata: “Bersiwak akan menjadi sunnah muakkad pada beberapa tempat: Ketika akan berwudhu, Ketika hendak akan shalat, ketika masuk rumah, ketika bangun dari tidur, ketika terjadi perubahan bau mulut dari bau yang tidak sedap atau karena telah kotor.” (Syarh Riyadhus Shalihin: 3/264).
4) Sebagai tambahan Al-Imam Al-Bukhari dalam Shahihnya membuat Bab khusus tentang ditekankannya bersiwak pada hari Jum’at yaitu dalam dalam Kitabul Jumu’ati Bab Ath-Thibbi Lil Jumu’ati, no. 880 dan Bab As-Siwaki Yaumul Jumu’ati, no.hadits 887, 888, dan 889).
Dari beberapa perkataan tersebut tujuannya:
Untuk membersihkan mulut dan mencari keridhaan Allah, dari Aisyah –radhiyallahu ‘anha- bahwa Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda: "Siwak itu pembersih mulut dan diridhai Allah.” (HR. Bukhari Kitabus Shiyam Bab 27, Ad-Darimy juz I Kitabul Wudhu bab 19 hal. 174, Ahmad dalam Al-Musnad juz I hal. 3 dari Abu Bakar dan hal. 10, dan An-Nasai juz I Kitabut Thaharahi Bab.4. Dan hadits ini dishahihkan oleh Syaikh Al-Albany di dalam Shahihil Jami' no. hadits 3695).
KESIMPULAN
Bahwa bersiwak akan menjadi sunnah muakkad pada waktu-waktu tertentu, diantaranya:
1) Setiap akan Berwudhu
Dari Abu Hurairah -radhiyallahu 'anhu-, dari Nabi -shallallahu 'alaihi wasallam-, Beliau bersabda: "Seandainya tidak memberatkan umatku, sungguh aku akan perintahkan mereka untuk bersiwak setiap akan wudhu.” (HR. Malik:1/66, Al Baihaqi:1/35, Ibnu Huzaimah:1/73 dan dishahihkan oleh Syaikh Al-Albany di dalam Shahihil Jami' no. 5317, shahihut Targhib no. 201 dan Al-Irwa': 1/109).
Asy-Syaikh DR. Shalih Fauzan berkata: "Hadits ini menunjukkan dengan tegas bahwa bersiwak adalah sunnah pada setiap akan berwudhu. Hal itu dilakukan ketika sedang berkumur-kumur karena hal itu akan membantu mengharumkan dan membersihkan mulut” (Al-Mulakhkhas Al-Fiqhy, hal. 30).
2) Setiap akan melakukan shalat.
Dari Abu Hurairah -radhiyallahu 'anhu-, dari Nabi -shallallahu 'alaihi wasallam-, Beliau bersabda: "Seandainya tidak memberatkan umatku, sungguh aku akan perintahkan mereka untuk bersiwak setiap akan shalat." (HR. Bukhari (2/374/887), Muslim (1/220/252) dan Tirmidzi (1/18/22) lihat Shahihul jami' No. Hadits 5315)
Al-Imam Asy-Syafi’i –rahimahullah- berkata: “Dalam hadits ini menunjukkan bahwasanya siwak tidaklah wajib, dan bahwasanya seseorang diberi pilihan, karena jika hukumnya wajib niscaya Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- akan memerintahkan mereka, baik mereka merasa berat ataupun atau tidak merasa berat.” (Al-Umm: 1/35)
Hikmah disunnahkannya bersiwak ketika hendak akan shalat, diantaranya berkata Al-Imam Ibnu Daqiqil ‘Ied –rahimahullah-:
Rahasia permasalahan dianjurkannya bersiwak ketika hendak akan shalat adalah kita diperintah dalam setiap keadaan supaya beramal sebaik mungkin tatkala beribadah kepada Allah -'Azza wa Jalla-. Dan ada yang berkata: (Karena) permasalahan ini berkaitan dengan para malaikat, sebab malaikat merasa terganggu dengan bau yang tidak sedap (yang berasal dari gigi dan mulut).
Maka Imam Ash-Shan'ani –rahimahullah- berkata: "Rahasia permasalahan ini mencakup dua perkara yang telah disebutkan, sebagaimana hadits riwayat Imam Muslim dari Jabir radhiyallahu 'anhu: "Barangsiapa yang memakan bawang putih, bawang merah atau jengkol, maka sekali-kali jangan mendekati masjid kami, karena para malaikat terganggu dengan apa-apa yang manusia terganggu dengannya." (Taisirul 'Allam: 1/40 dan Subulussalaam: 1/64).
4) Setiap Bangun dari Tidur
Dari Hudzaifah Ibnul Yaman -radhiyallahu 'anhu-, beliau berkata: Jika Rasulullah -shallallahu 'alaihi wa sallam- bangun malam, beliau menggosok (membersihkan) mulutnya dengan siwak." (HR. Bukhari; 245 dan Muslim; 255).
Asy-Syaikh DR. Shalih Fauzan berkata: "Siwak juga menjadi sunnah muakadah ketika seseorang bangun dari tidur di malam atau siang hari. Rasulullah -shallallahu 'alaihi wa sallam- jika bangun tidur dimalam hari, beliau menggosok mulutnya dengan siwak. hal itu dikarenakan bersamaan dengan proses tidur, maka berubahlah bau mulut, yang disebabkan peningkatan gas dalam lambung.” (Al-Mulakhkhas Al-Fiqhy: 1/30).
Hikmah disunnahkannya bersiwak ketika bangun tidur.
Asy-Syaikh Abdullah Alu Bassam –rahimahullah- berkata: "Termasuk tanda kecintaan Nabi -shallallahu 'aihi wa sallam- kepada kebersihan dan ketidak sukaannya terhadap bau tidak enak, tatkala bangun dari tidur malam yang panjang, yang mana saat itu dimungkinkan bau mulut sudah berubah, maka beliau menggosok giginya dengan siwak untuk menghilangkan bau tidak sedap, dan untuk menambah semangat setelah bangun tidur, karena termasuk kelebihan siwak adalah menambah daya ingat dan semangat." (Taisirul 'Allam: 1/41).
Apakah Bersiwak Khusus Ketika Bangun Tidur Pada Malam Hari?
Jika ada yang berkata tidaklah layak bagi seseorang untuk berdalil dengan hadits Khudzaifah Ibnul Yaman atas ditekankannya untuk bersiwak ketika tidur pada siang hari, karena dalil itu khusus untuk malam hari, dan tidaklah mungkin menjadikan dalil khusus kepada yang umum.
Asy-Syaikh Muhammad Shalih Al-Utsaimin –rahimahullah- berkata: “Tidak ada pencegah tentang keberadaan hadits Khudzaifah tersebut, karena anjuran hadits tersebut juga ketika bangun dari tidur pada siang hari, karena bahwasanya ‘illahnya hanya satu yaitu perubahan bau mulut ketika tidur”. (Al-Mumti’: 1/109).
4). Setiap akan Masuk Rumah
Dari Miqdam bin Syuraih dari ayahnya (Syuraih), ia berkata: "Saya bertanya kepada Aisyah -radhiyallahu 'anha-: Dengan apa Rasulullah -shallallahu 'aihi wa sallam- memulai ketika masuk ke rumahnya? Aisyah menjawab: "Dengan siwak." (HR. Muslim dalam kitabut Thaharah juz II bab 43 hal. 12 Syarh Shahih Muslim oleh An-Nawawy, Imam Ahmad dalam Musnad-nya juz VI hal. 42, 110 dan 182, An-Nasai juz I kitabut Thaharah Bab 7, Ibnu Majah juz I Kitabut Tharah bab VII hal. 106).
5). Ketika hendak membaca Al Qur'an
Dari Ali -radhiyallahu 'anhu- berkata : Rasulullah -shallallahu 'aihi wa sallam- memerintahkan kami bersiwak, sesungguhnya seorang hamba apabila berdiri sholat malaikat mendatanginya kemudian berdiri dibelakangnya mendengar bacaan Al Qur'an dan ia mendekat. Maka ia terus mendengar dan mendekat sampai ia meletakkan mulutnya diatas mulut hamba itu, sehingga tidaklah dia membaca satu ayatpun kecuali berada dirongganya malaikat" (HR. Al Baihaqy dan Ad Dhiya'. Lihat Sislsilah Al Ahadits As Shahihah 1213).
6). Setiap hari Juma’at
Dari Abu Hurairah –radhiyallahu ‘anhu-, dia berkata, bahwa Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- berkata pada hari Jum’at: Kaum muslimin, sesungguhnya hari ini Allah telah menjadikannya untuk kalian sebagai ‘Ied (hari raya) maka mandilah kalian, dan hendaklah kalian bersiwak”. Berkata Al-Haitsamy dalam Al-Majmu’ 2/176 diriwayatkan oleh Ath-Thabrany dalam Al-Ausath dan para rawinya tsiqah (terpercaya), (Lihat Ahkamul Jum’ah, hal. 60).
Dari Abu Sa’id Al-Khudry, dia berkata: “Aku menyaksikan rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam-, Beliau berkata: “Mandi pada hari Jum’at wajib atas setiap muhtalim (orang yang sudah baligh), dan menggosok gigi dan mengusapkan minyak wangi (pada anggota tubuh) yang dapat dijangkau (dengan tangan).” (HR. Bukhari dalam Kitabul Jumu’ati Bab Ath-Thib Lil Jumu’ati, no. 880, dan Lihat Al-Lu’lu’ wal Marjan, hal. 144).
1.5 Sifat Bersiwak.
Asy-Syaikh DR. Shalih Fauzan berkata: "Menggosokkan (bersiwak) diatas gusi dan gigi, dimulai dari sebelah kanan menuju sebelah kiri, siwak dipegang dengan tangan kiri." (Al-Mulakhkhas Al-Fiqhy: 1.30).
Bersiwak dengan Tangan Kanan atau dengan Tangan Kiri?
Bersiwak boleh dengan tangan kanan atau dengan tangan kiri, karena perkaranya ada keluasaan, karena anjuran bersiwak dengan tangan kanan atau dengan tangan
kiri tidak ada dalil yang ditekankannya untuk bersiwak dengan tangan kanan atau dengan tangan kiri. Dan sungguh telah berpendapat sebagian ulama bahwa disunnahkan bersiwak dengan tangan kiri karena (tujuannya) untuk kebersihan, dan sebagian ulama yang lain berpendapat sunnah bersiwak dengan tangan kanan karena dia adalah ibadah. Sesangkan menurut mazhab Malikiyah ada perincian: Apabila seseorang bersiwak karena tujuannya untuk kebersihan maka bersiwak dengan tangan kiri, dan apabila seseorang bersiwak karena (tujuan) ibadah, seperti bersiwak setiap akan shalat maka bersiwak dengan kanannya. Dan ini adalah rincian yang bagus. Dan yang paling utama adalah boleh menggunakan kedua-duanya.” (Tamamul Minnah: 1/60).
Sebagian dari kalangan mazhab Hanabilah berpendapat bahwa bersiwak dengan tangan kanan, mereka berdalil dengan hadits Aisyah –radhiyallahu anha- bahwa Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- senang dengan mendahulukan yang kanan ketika menyisir rambutnya, ketika mengenakan sandal, bersuci, dan bersiwak” (HR. Abu Dawud no. 4140), namun dzahir dari hadits tersebut adalah Rasulullah –shalallahu ‘alaihi wa sallam- ketika mau bersiwak beliau memulai dengan yang kanan, dan tanpa ada keterangan bahwa beliau –shalallahu ‘alaihi wa sallam- memegang siwak dengan tangan kanan, Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin –rahimahullah- berkata: “ bersiwak (dengan menggunakan tangan kanan atau tangan kiri) perkaranya ada keluasan karena tidak adanya nash yang jelas.” (Syarhul Mumti’: 1/111).
Menggunakan Siwak apakah dengan Memanjang ataukah dengan Melintang?
Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin –rahimahullah- menerangkan tata cara menggunakan siwak apakah dengan memanjang ataukah melintang, beliau berkata: “Cara penggunaannya kembali kepada apa yang dituntut oleh keadaan, jika keadaan menuntut bersiwak dengan memanjang maka dilakukan dengan memanjang, apabila keadaan menuntut bersiwak dengan melintang maka dilakukan dengan melintang, karena tidak ada sunnah yang jelas dalam perkara ini.” (Al-Mumti’: 1/110).
Bersungguh-sungguh ketika Bersiwak!
Abu Musa Al-Asy’ary –radhiyallahu ‘anhu- berkata: “Aku pernah mendatangi Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam-, ketika itu beliau sedang bersiwak dengan siwak yang masih segar (basah). Ujung siwak diatas lisan (lidah) beliau dan beliau berkata: ‘Agh, ‘agh. sedangkan siwak didalam mulut beliau” (HR. Bukhari, no. 244 dan Muslim, no.591).
Dari hadits tersebut dapat diambil faedah, diantaranya:
√ Asy-Syaikh Al-Albani –rahimahullah- berkata:
“Seyogyanya seseorang bersungguh-sungguh ketika bersiwak (membersihkan) mulutnya” (At-Ta’liqat Ar-Radhiyah: 1/168).
√ Siwak adalah alat untuk membersihkan gigi dan mulut. Siwak juga dapat membersihkan lidah.” (Fathul Bary: 1/422-423)
Dua Orang Menggunakan Satu Siwak?
Dari Aisyah –radhiyallahu ‘anhu- dia berkata: “Masuk Abdurrahman bin Abu Bakar, dan dia membawa siwak sambil menggosokan giginya dengan siwak tersebut. Maka Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- melihat kepadanya, aku mengambil siwak tersebut dari Abdurrahman, kemudian aku patahkan ujungnya lalu aku mengikisnya (memperbaikinya dengan gigiku) kemudian aku berikan kepada Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam-, maka dia pun bersiwak dengannya dan beliau dalam keadaan bersandar didadaku.” (HR. Bukhari, no. 890).
Dari Aisyah –radhiyallahu ‘anhu- dia berkata: “Nabiullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- pernah bersiwak, lalu diberikan kepadaku siwak tersebut untuk memncucinya. Maka aku menggunakannya untuk bersiwak, kemudian (setelah aku gunakan) aku mencucinya, kemudian aku menyerahkannya kepada beliau.” (HR. Abu Dawud, no.52).
Faedah dari dua hadits diatas, diantaranya:
√ Bolehnya seseorang bersiwak dengan siwak orang lain (apabila pemilik siwak ridha), dan sebelum digunakan sebaiknya siwak dicuci, apabila tidak dimungkinkan untuk
dicuci maka cukup diperbaiki.
√ Bolehnya bersiwak dihadapan orang lain. (Lihat Ihkamul Ahkam, Juz 1 Kitab Thaharah Bab Siwak, hal. 57-58).
1.6 Hikmah Bersiwak
1.6.1 Menurut pandangan Ulama
Asy-Syaikh Zaid bin Muhammad bin Hadi Al-Madkhaly berkata: “Saat ini alat-alat modern berupa sikat dan pasta gigi atau semisalnya memiliki fungsi yang sama dengan tangkai kayu arak, hanya saja tangkai kayu arak merupakan siwak yang terbaik disebabkan banyak rahasia kemanfaatan yang dikandungnya juga keistimewaan yang tidak didapatkan pada selainnya. Diantara kekhususannya: Ia dapat membunuh bakteri-bakteri yang ada pada mulut yang menyebabkan banyak macam penyakit yang berhubungan dengan dengan mulut dan gigi. Juga padanya ada garam yodium, bahan pewangi yang enak, gula, dan komposisi lainnya yang hanya didapatkan pada kayu arak tidak pada alat pembersih dan penyegar mulut dan gigi lainnya.” (Bagaimana Seorang Muslim Mengenal Agamanya, hal. 309).
Apakah Boleh Bagi Sesesorang Menggosok Giginya atau Memersihkan Mulutnya dengan Selain Siwak?
Seseorang boleh membersihkan mulutnya (menggosok giginya) dengan selain siwak, akan tetapi yang paling afdhal yaitu dengan menggunakan siwak. (Tamamul Minnah: 1/60).
1.6.2 Menurut pandangan Ilmu Pengetahuan
Siwak dapat menjaga kebersihan gigi dan mulut dan mencegah parasit (Entamoeba Gingivalis dan trichomonas) yang merupakan sebab munculnya bau tidak sedap pada mulut. Parasit ini habitat (tempat hidupnya) di rongga mulut tepatnya pada gigi yang berlubang. jika mulut dan gigi kebersihannya terjaga maka parasit ini tidak dapat survive (mati). Parasit ini cara pencegahannya adalah dengan menjaga hygiene (kebersihan mulut). Maka disini berlakulah perkataan orang-orang "Mencegah itu lebih baik dari pada mengobati". Wallahu a'lam wa ahkam, Wabillahit-taufiq.
II. KISAH ORANG YANG MENGEJEK SIWAK
Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab Al-Wushobiy -hafidzahullah- berkata: "Telah disebutkan oleh Ibnu Katsir –rahimahullah- didalam Al-Bidayah wan Nihayah tentang kejadian-kejadian pada tahun 665, beliau –rahimahullah- berkata Asy-Syaikh Qathbuddin Al-Yunani berkata: "Telah sampai kepada kami bahwasanya seorang laki-laki yang dipanggil dengan Abu Salamah dari daerah Bushra, dia suka bercanda dan berbicara tanpa dipikirkan terlebih dahulu. Disebutkan disisinya tentang siwak dan keutamaannya, maka dia berkata: "Demi Allah, aku tidak akan bersiwak kecuali di dubur, kemudian dia mengambil sebatang siwak dan memasukkannya keduburnya kemudian dikeluarkan kembali." Berkata Qathbuddin Al-Yunani: "Setelah melakukan perbuatan tersebut, ia tinggal selama sembilan bulan dalam keadaan mengeluh sakit perut dan dubur. Berkata Qathbuddin Al-Yunani: "Lalu ia melahirkan anak seperti tikus yang pendek dan besar, memiliki empat kaki, kepalanya seperti kepala ikan, memiliki empat taring yang menonjol, panjang ekornya satu jengkal empat jari dan duburnya seperti dubur kelinci. Ketika lelaki itu melahirkannya, hewan tersebut menjerit tiga kali, maka bangkitlah putrinya laki-laki tadi dan memecahkan kepalanya sehingga matilah hewan tersebut. Laki-laki itu hidup setelah melahirkan selama dua hari, dan meninggal pada hari yang ketiga. Dan ia sebelum meninggal berkata "Hewan itu telah membunuhku dan merobek-robek ususku." Sungguh kejadian tersebut telah disaksikan oleh sekelompok penduduk daerah tersebut dan para khotib tempat tersebut. diantara mereka ada yang menyaksikan hewan itu ketika masih hidup dan ada pula yang menyaksikan ketika hewan itu sudah mati." (Al-Qaulul Mufiid fii Adillatit Tauhiid, hal. 106-107)
Kisah tersebut sangatlah pantas dan cocok untuk kita ambil pelajaran, dengan kisah itu mengingatkan kita untuk tidak bermudah-mudahan berucap apalagi kalau sampai mengejek As-Sunnah, sungguh jauh-jauh hari sebelumnya Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- telah bersabda:
“Wahai manusia, berhati-hatilah terhadap ucapan kalian, jangan sampai kalian dijerumuskan oleh syaithan.” (HR. An-Nasai dalam ‘Amalul Yaum wal Lailah, dikatakan dalam Ash-Shahihul Musnad fi Asy-Syamail Muhammadiyah no. 786; hadits Shahih menurut syarah Muslim).
Semoga dengan kisah tersebut menjadi sebab bagi kita untuk mudah dalam menerima dan melaksakan As-Sunnah dan menjauhkan kita dari sifat meremehkan dan menentang As-Sunnah. Sungguh Allah –‘Azza wa Jalla- telah memberikan peringatan untuk kita sebagaimana firmannya: ".....maka hendaklah orang-orang yang menyelisihi ajaran Rasul takut ditimpa fitnah atau ditimpa azab yang pedih.” (An-Nuur: 63).
Akhirnya, semoga Allah menjadikan tulisan ini bermanfaat bagi kami dan segenap kaum muslimin. Washallallahu ‘ala Muhammad wa Aalihi Washahbihi wasallam walhamdulillahi Rabbil ‘Alamin

Maraji':
1. Al-Qur’anul Karim
2. Shahihul Bukhari, -Al-Imam Abu Abdillah Muhammad Al-Bukhari-, Darul Kutub Al-Ilmiyah- 1425 H-2004 M
3. Al-Lu’lu’ wal Marjanfimat Tafaqqaha ‘alaihis Syaikhani,- Muhammad Fuad Abdul baqy- Darul Hadits.
4. Riyaadhush Shaalihin, Al-Imam Abi Zakariya Yahya bin Syarf An-Nawawy, Daar Al-Fikr -1414 H-1994 M
5. Syarh Riyaadhush Shaalihin min Kalaami Sayyidil Mursaliin –Samahatusy Syaikh Abdul Aziz bin Baz, Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, Syaikh Nashiruddin Al-Albani- Daar Mustaqbal dan Daar Al-Imam Maalik, 1426 H-2005 M
6 Fathul Baary Bisyarhi Shahih Al-Bukhary, Al-Hafidz Ahmad bin ‘Ali bin Hajar Al-Asqalany, Daar Al-Hadits- 1424 H- 2004 M
7 Umdatul Ahkaam min Kalaam Khoiril Anaam, Al-Hafidz Abdul Ghani Al-Maqdisiy. Dar Ibnu Khuzaimah, 1420H-1999M.8 Umdatul Ahkaam Al-Kubra, Al-Hafidz Abdul Ghani Al-Maqdisiy. –tanpa penerbit-
9. Taisirul 'Allam Syarh 'Umdatul Ahkaam, Syaikh Abdullah Alu bassam, Dar Al-'Aqidah. 1422H-2002 M
10. Subulussalaam Syarh Buluughul Maraam, Al-Imam Muhammad bin Isma’il Al-Amiir Ash-Shan’any, Daar Al-Fiqr -1411 H-1991 M
12. Ihkamul Ahkam Syarh ‘Umdatul Ahkam-, Syaikh Ibnu Daqiqil ‘Ied-, Darul Kutub Al-Ilmiyah-, 1426 H-2005 M
13. Al’Uddah Syarh ‘Umdah-, Al-Imam Abdurrahman bin Ibrahim Al-Maqdisy-, Darul ‘Adil jaded-, 146 H-2005 M.
14. Akhsharul Mukhtashar fi Fiqhi ‘ala Mazhab Al-Hambaly-, Al-Imam Muhammad Ad-Dimasyqy-, Darul Basyiril Islmiyah.
15. Ad-Drary Al-Mudhiyah Syarh Ad-Dariry Bahiyah-, Al-Imam Muhammad bin Ali Syaukani-, Darul Kutub Al-Ilmiyah-, 1424 H-2003 M.
16. At-Ta’liqat Ar-Radhiyah ‘ala Ar-Raudatin Nadiyyah-, Asy-Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani-, Dar Ibnu ‘Affan-, 1420 H- 1999 M.
17. Tamamul Minnah fii Fiqhil Kitab wa Shahih As-Sunnah-, Asy-Syaikh Abu Abdirrahman ‘Adil Al-‘Azzaziy-, Darul ‘Aqidah.
18. Al-Mughni wayalih Asy-Syarhul Kabiir-, Al-Imam Syamsuddin Abdurrahman Ibnu Qudamah Al-Maqdisy-, Darul Hadits-, 1425 H-2004 M.
19. Syarhul Mumti’ ‘ala Zadil Mustaqi’-, Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin-, Markas Fajr Lithiba’ah-, 2000 M.
20. Ahkamul Jum’ah-, Asy-Syaikh Abu Abdirrahman Yahya bin Ali Al-Hajuri-, Dar Syarqain An-Nasyr wat Tazi’-, 143 H-2000 M.
21. Al-Umm, Al-Imam Abi Abdillah Muhammad bin Idriis Asy-Syafi’I, Daarul Fikr, 1422 H - 2002 M
22. Al-Mulakhkhas Al-Fiqhiy, Asy-Syaikh DR. Shalih Fauzan,
Dar Al-'Aqidah. 1424H-2003 M
23. Al-Qaulul Mufiid fii Adillatit Tauhid, Asy-Syaikh Muhammad Abdul Wahhab Al-Wushobiy. Dar Ibnu Hazm, 1427H-2006
RUJUKAN BERBAHASA INDONESIA
24. Bagaimana Seorang Muslim Mengenal Agamanya, Asy-Syaikh Zaid bin Muhammad Hadi Al-Madkhaly, Cahaya Tauhid Press 1425 H-2005 M
RUJUKAN DARI INTERNET
25. http://darussalaf.org/index.php?name=News&file=article&sid=570


Keutamaan Bersiwak



Penulis : Al-Ustadz Abu Ishaq Muslim Al-Atsari
http://asysyariah.com/syariah.php?menu=detil&id_online=408

Bersiwak (membersihkan mulut dengan kayu dari pohon araak) merupakan perbuatan yang sangat disukai oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ada beberapa waktu yang sangat dianjurkan oleh syariat untuk kita bersiwak. Bila kita mampu menjalankan ajaran Rasulullah ini Shallallahu ‘alaihi wa sallam, tidak hanya mulut kita yang menjadi bersih, namun pahala dan keridhaan Allah pun insya Allah bisa kita raih.

Kata siwak bukan lagi sesuatu yang asing di tengah sebagian kaum muslimin, meskipun sebagian orang awam tidak mengetahuinya disebabkan ketidaktahuan mereka tentang agama. Wallahul musta’an.
Pengertian siwak sendiri bisa kembali pada dua perkara:
Pertama, bermakna alat yaitu kayu/ranting yang digunakan untuk menggosok mulut guna membersihkannya dari kotoran. Asalnya adalah kayu dari pohon araak.
Kedua, bermakna fi’il atau perbuatan yaitu menggosok gigi dengan kayu siwak atau semisalnya untuk menghilangkan warna kuning yang menempel pada gigi dan menghilangkan kotoran, sehingga mulut menjadi bersih dan diperoleh pahala dengannya (Fathul Bari 1/462, Al-Minhaj Syarhu Shahih Muslim 3/135, Subulus Salam 1/63, Taisirul ‘Allam Syarhu ‘Umdatil Ahkam, 1/62).
Dengan demikian, disenangi bersiwak dengan kayu siwak dari araak atau dengan apa saja yang bisa menghilangkan perubahan bau mulut, seperti membersihkan gigi dengan kain perca atau sikat gigi. (Nailul Authar, 1/154)
Namun tentunya bersiwak dengan menggunakan kayu siwak lebih utama. Karena, hal itulah yang dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan ditunjukkan dalam hadits-hadits yang berbicara tentang siwak.
Hukum bersiwak ini sunnah –tidak wajib– dalam seluruh keadaan, baik sebelum shalat ataupun selainnya. Dan ini merupakan pendapat yang rajih yang dipegangi oleh penulis. Ini juga merupakan pendapat jumhur ulama, menyelisihi sebagian ulama yang memandang wajibnya perkara ini. Ibnu Qudamah Al-Maqdisi rahimahullahu mengatakan: “Kami tidak mengetahui ada seorang pun yang berpendapat bersiwak itu wajib kecuali Ishaq dan Dawud Azh-Zhahiri.” (Al-Mughni, kitab Ath-Thaharah, bab As-Siwak wa Sunnatul Wudhu).
Dalil tidak wajibnya bersiwak ini diisyaratkan dalam hadits:

لَوْلاَ أَنْ أَشُقَّ عَلَى أُمَّتِي لأَمَرْتُهُمْ بِالسِّوَاكِ عِنْدَ كُلِّ وُضُوْءٍ

“Seandainya aku tidak memberati umatku, niscaya aku perintahkan mereka untuk bersiwak setiap kali berwudhu.”
Al-Imam Asy-Syafi‘i rahimahullahu mengatakan: “Dalam hadits ini ada dalil bahwa siwak tidaklah wajib. Seseorang diberi pilihan (untuk melakukan atau meninggalkannya, pent.). Karena, jika hukumnya wajib niscaya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam akan memerintahkan mereka, baik mereka merasa berat ataupun tidak.” (Al-Umm, kitab Ath-Thaharah, bab As-Siwak).
Kekhawatiran memberatkan umatnya merupakan sebab yang mencegah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk mewajibkan bersiwak ini. (Taudhihul Ahkam min Bulughil Maram, 1/195)
Bersiwak merupakan ibadah yang tidak banyak membebani, sehingga sepatutnya seorang muslim bersemangat melakukannya dan tidak meninggalkannya. Di samping itu, banyak faedah yang didapatkan berupa kebersihan, kesehatan, menghilangkan aroma yang tak sedap, mewangikan mulut, memperoleh pahala dan mengikuti Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. (Taisirul ‘Allam, 1/62)
Banyak sekali hadits yang berbicara tentang siwak sehingga Ibnul Mulaqqin rahimahullahu dalam Al-Badrul Munir mengatakan: “Telah disebutkan dalam masalah siwak lebih dari seratus hadits.” (Subulus Salam, 1/63)
Karena perkara bersiwak ini disenangi oleh Rasul kita yang mulia Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan tidak pernah beliau tinggalkan sampai pun menjelang ajalnya, sementara kita diperintah dalam Al-Qur`an untuk menjadikan beliau sebagai qudwah, suri teladan, maka pembahasan tentang siwak tidak patut kita abaikan. Ditambah lagi, bersiwak ini termasuk sunnah wudhu dan termasuk thaharah yang kita dianjurkan untuk melakukannya. Semoga apa yang kami tuliskan ini menjadi ilmu yang bermanfaat dan mudah-mudahan dapat diamalkan oleh kita semua. Amin!

Kesenangan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam Bersiwak
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam demikian senang bersiwak. Beliau tidak melupakannya sampai pun pada detik-detik menjelang beliau dijemput kembali ke sisi Allah Subhanahu wa Ta'ala. ‘Aisyah radhiyallahu 'anha mengabarkan:

دَخَلَ عَبْدُ الرَّحْمنِ بْنُ أَبِي بَكْرٍ الصِّدِّيْقِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَنَا مُسْنِدَتُهُ إِلَى صَدْرِي، وَمَعَ عَبْدِ الرَّحْمنِ سِوَاكٌ رَطْبٌ يَسْتَنُّ بِهِ، فَأَبَدَّهُ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَصَرَهُ، فَأَخَذْتُ السِّوَاكَ فَقَضَمْتُهُ وَطَيَّبْتُهُ، ثُمَّ دَفَعْتُهُ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَاسْتَنَّ بِهِ، فَمَا رَأَيْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اسْتَنَّ اسْتِنَانًا قَطُّ أَحْسَنَ مِنْهُ، فَمَا عَدَا أَنْ فَرَغَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَفَعَ يَدَهُ أَوْ إِصْبَعَهُ ثُمَّ قَالَ: فِي الرَّفِيْقِ اْلأَعْلَى -ثَلاَثًا- ثُمَّ قَضَى

‘Abdurrahman bin Abi Bakr Ash-Shiddiq radhiyallahu 'anhuma masuk menemui Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam keadaan dadaku menjadi tempat sandaran beliau. ‘Abdurrahman membawa siwak yang masih basah yang dipakainya untuk bersiwak. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengangkat pandangan mata beliau, melihat siwak itu. Aku pun mengambil siwak tersebut lalu mematahkan ujungnya (dengan ujung gigi) serta memperbaikinya dan membersihkannya, kemudian aku berikan pada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau kemudian bersiwak dengannya. Aku tidak pernah melihat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersiwak sebagus yang kulihat kali itu. Tidak berapa lama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam selesai dari bersiwak, beliau mengangkat tangannya atau jarinya kemudian berkata: “Pada teman-teman yang tinggi (Ar-Rafiqil A‘la)1.” Lalu beliau pun wafat. (HR. Al-Bukhari no. 890, 4438)
Dalam satu lafadz, ‘Aisyah radhiyallahu 'anha mengatakan:

فَرَأَيْتُهُ يَنْظُرُ إِلَيْهِ، وَعَرَفْتُ أَنَّهُ يُحِبُّ السِّوَاكَ. فَقُلْتُ: آخِذُهُ لَكَ؟ فَأَشَارَ بِرَأْسِهِ أَنْ نَعَمْ

Aku melihat beliau memandangi siwak tersebut dan aku tahu beliau menyukai bersiwak. Maka aku katakan: “Apakah aku boleh mengambilkannya untukmu?” Beliau mengisyaratkan “iya”, dengan kepala beliau (mengangguk untuk mengiyakan/sebagai persetujuan). (HR. Al-Bukhari no. 4449)2

Bersiwak Membersihkan Mulut dan Diridhai Allah Subhanahu wa Ta'ala
‘Aisyah radhiyallahu 'anha mengabarkan bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

السِّوَاكُ مُطَهَّرَةٌ لِلْفَمِ، مَرْضَاةٌ لِلرَّبِّ

“Siwak itu membersihkan mulut, diridhai oleh Ar-Rabb.” (HR. Ahmad, 6/47,62, 124, 238, An-Nasa`i no. 5 dan selainnya. Diriwayatkan pula oleh Al-Imam Al-Bukhari dalam Shahih-nya secara mu‘allaq. Dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih Sunan An-Nasa`i, Al-Misykat no. 381, Irwa`ul Ghalil no. 65)
Ibnu ‘Umar radhiyallahu 'anhuma juga mengabarkan hal yang senada dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

عَلَيْكُمْ بِالسِّوَاكِ فَإِنَّهُ مَطْيَبَةٌ لِلْفَمِ، مَرْضَاةٌ لِلرَّبِّ تَبَارَكَ وَتَعَالَى

“Seharusnya bagi kalian untuk bersiwak. Karena dengan bersiwak akan membaikkan (membersihkan) mulut, diridhai oleh Ar-Rabb tabaraka wa ta’ala.” (HR. Ahmad 2/109, lihat Ash-Shahihah no. 2517)

Waktu-waktu Disunnahkannya Bersiwak
Bersiwak adalah sunnah (mustahab) dalam seluruh waktu. Namun ada lima waktu yang lebih ditekankan bagi kita untuk melakukannya (Al-Minhaj 1/135, Al-Majmu‘ 1/328, Tharhut Tatsrib fi Syarhit Taqrib 1/225). Waktu-waktu tersebut adalah sebagai berikut:
1. Setiap akan shalat dan wudhu
Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu mengabarkan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

لَوْلاَ أَنْ أَشُقَّ عَلَى أُمَّتِي لأَمَرْتُهُمْ بِالسِّوَاكِ مَعَ كُلِّ وُضُوْءٍ

“Seandainya aku tidak memberatkan umatku, niscaya aku perintahkan mereka untuk bersiwak setiap kali berwudhu.” (HR. Ahmad 2/400, Malik dalam Al-Muwaththa` no. 143 dengan Syarh Az-Zarqani. Disebutkan pula oleh Al-Imam Al-Bukhari dalam Shahih-nya secara mu‘allaq. Dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Irwa`ul Ghalil no. 70)
Al-Imam Al-Bukhari dalam Shahih-nya (no. 887) dan Al-Imam Muslim dalam Shahih-nya (no. 588) juga mengeluarkan hadits di atas, hanya saja lafadz akhirnya adalah: مَعَ كُلِّ صَلاَةٍ (setiap kali hendak mengerjakan shalat). Selengkapnya adalah:

لَوْلاَ أَنْ أَشُقَّ عَلَى أُمَّتِي لأَمَرْتُهُمْ بِالسِّوَاكِ مَعَ كُلِّ صَلاَةٍ

“Seandainya aku tidak memberatkan umatku, niscaya aku perintahkan mereka untuk bersiwak setiap kali setiap kali hendak mengerjakan shalat.”
Permasalahan disunnahkannya bersiwak ketika hendak shalat dan berwudhu ini diriwayatkan dari sejumlah shahabat. Di antaranya Abu Hurairah, Zaid bin Khalid, ‘Ali bin Abi Thalib, Al-’Abbas bin Abdil Muththalib, Ibnu ‘Umar, Abdullah bin Hanzhalah, dan selain mereka radhiyallahu 'anhum ajma’in. (Sunan At-Tirmidzi, kitab Ath-Thaharah, bab Maa Ja’a fis Siwak)
Ibnu Daqiqil ‘Ied rahimahullahu berkata: “Rahasia dianjurkannya kita bersiwak saat hendak shalat adalah kita diperintahkan dalam setiap keadaan taqarrub (mendekatkan) diri kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala untuk berada dalam kesempurnaan dan kebersihan, dalam rangka menampakkan kemuliaan ibadah.”
Ada pula yang berpendapat bahwa perkaranya berkaitan dengan malaikat. Karena malaikat akan terganggu dengan aroma tidak sedap yang keluar dari mulut seseorang. (Ihkamul Ahkam, kitab Ath-Thaharah, bab As-Siwak)

2. Ketika masuk rumah
Syuraih bin Hani` pernah bertanya kepada ‘Aisyah radhiyallahu 'anha:

بِأَيِّ شَيْءٍ كَانَ يَبْدَأُ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا دَخَلَ بَيْتَهُ؟ قَالَتْ: بِالسِّوَاكِ

“Apa yang mulai Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam lakukan apabila beliau masuk rumah?” Aisyah menjawab: ‘Beliau mulai dengan bersiwak’.” (HR. Muslim no. 589)

3. Saat bangun tidur di waktu malam
Hudzaifah ibnul Yaman radhiyallahu ‘anhu berkata:

كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا قَامَ مِنَ اللَّيْلِ يَشُوْصُ فَاهُ بِالسِّوَاكِ

“Adalah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam apabila bangun di waktu malam beliau menggosok mulutnya dengan siwak.” (HR. Al-Bukhari no. 245, 889, 1136 dan Muslim no. 592, 594)
Ibnu ‘Umar radhiyallahu 'anhuma mengabarkan:

أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ لاَ يَنَامُ إِلاَّ وَالسِّوَاكُ عِنْدَهُ، فَإِذَا اسْتَيْقَظَ بَدَأَ بِالسِّوَاكِ

“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah tidur melainkan siwak berada di sisi beliau. Bila terbangun dari tidur, beliau mulai dengan bersiwak.” (HR. Ahmad 2/117, dihasankan Asy-Syaikh Muqbil dalam Al-Jami’ush Shahih 1/503)
Alasan disenanginya bersiwak pada saat seperti ini, kata Al-Imam Ibnu Daqiqil ‘Ied rahimahullahu, adalah karena tidur menyebabkan berubahnya bau mulut. Sedangkan siwak merupakan alat untuk membersihkan mulut. Sehingga disunnahkan bersiwak tatkala terjadi perubahan bau mulut. (Ihkamul Ahkam, kitab Ath-Thaharah, bab As-Siwak)
Dalam hal ini sama saja, baik bangunnya untuk mengerjakan shalat atau tidak. ‘Auf bin Malik radhiyallahu ‘anhu mengabarkan:

قُمْتُ مَعَ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَبَدَأَ فَاسْتَاكَ ثُمَّ تَوَضَّأَ، ثُمَّ قَامَ يُصَلِّي وَقُمْتُ مَعَهُ...

“Aku pernah bangkit bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu beliau mulai bersiwak. Setelah itu beliau berwudhu. Kemudian beliau bangkit untuk mengerjakan shalat dan aku pun bangkit bersama beliau…” (HR. Ahmad 6/24, dihasankan Asy-Syaikh Muqbil dalam Al-Jami’ush Shahih 1/503,504)

4. Ketika hendak membaca Al-Qur`an
Dengan dalil sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

السِّوَاكُ مَطَهَّرَةٌ لِلْفَمِ، مَرْضَاةٌ لِلرَّبِ

“Siwak itu membersihkan mulut, diridhai oleh Ar-Rabb.” (HR. Ahmad 6/47,62, 124, 238, An-Nasa`i no. 5 dan selainnya. Al-Imam Al-Bukhari meriwayatkannya dalam Shahih-nya secara mu‘allaq. Dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih Sunan An-Nasa`i, Al-Misykat no. 381, Irwa`ul Ghalil no. 65)
Sementara membaca Al-Qur`an tentunya menggunakan mulut.

5. Saat bau mulut berubah
Perubahan bau mulut bisa terjadi karena beberapa hal. Di antaranya: karena tidak makan dan minum, karena memakan makanan yang memiliki aroma menusuk/tidak sedap, diam yang lama/tidak membuka mulut untuk berbicara, banyak berbicara dan bisa juga karena lapar yang sangat, demikian pula bangun dari tidur. (Al-Hawil Kabir 1/85, Al-Minhaj, 1/135)

Bersungguh-sungguh dalam Bersiwak
Ketika seseorang bersiwak, hendaklah ia melakukannya dengan sungguh-sungguh, sebagaimana yang dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Abu Musa Al-Asy‘ari radhiyallahu ‘anhu menceritakan:

أَتَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ يَسْتَاكُ بِسِوَاكٍ رَطْبٍ. قَالَ: وَطَرَفُ السِّوَاكِ عَلَى لِسَانِهِ وَهُوَ يَقُوْلُ: أُعْ، أُعْ. وَالسِّوَاكُ فِي فِيْهِ كَأَنَّهُ بَتَهَوَّعُ

“Aku pernah mendatangi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, ketika itu beliau sedang bersiwak dengan siwak basah. Ujung siwak itu di atas lidah beliau dan beliau mengatakan “o’, o’3" sedangkan siwak di dalam mulut beliau, seakan-akan beliau hendak muntah.” (HR. Al-Bukhari no. 244 dan Muslim no. 591)
Hadits di atas menunjukkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersungguh-sungguh dalam bersiwak, sampai-sampai hendak muntah karenanya. Selain itu, menunjukkan disenanginya bersiwak menggunakan siwak yang basah sebagaimana dalam hadits Ummul Mukminin ‘Aisyah radhiyallahu 'anha yang telah lewat tentang bersiwaknya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelang wafatnya. Di samping itu, hadits ini menunjukkan bahwa selain digunakan untuk membersihkan gigi, siwak dapat pula digunakan untuk membersihkan lidah. (Fathul Bari 1/463, Ihkamul Ahkam, kitab Ath-Thaharah, bab As-Siwak)

Cara Bersiwak
Kata Al-Imam Al-Mawardi rahimahullahu, disenangi menggunakan siwak secara melintang ketika menggosok permukaan gigi dan bagian dalamnya. Dan siwak dijalankan di atas ujung-ujung gigi dan pangkal gigi geraham agar semuanya bersih dari kotoran warna kuning dan perubahan bau yang ada. Dijalankan pula di atas langit-langit dengan perlahan untuk menghilangkan bau yang ada. (Al-Hawil Kabir, 1/85)
Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullahu mengatakan tentang permasalahan cara menggunakan siwak, apakah memanjang atau melintang: “Memungkinkan untuk dikatakan: cara penggunaannya kembali kepada apa yang dituntut oleh keadaan. Apabila keadaan menuntut untuk bersiwak dengan memanjang, maka dilakukan dengan memanjang. Apabila keadaan menuntut untuk bersiwak dengan melintang, maka dilakukan dengan melintang. Karena tidak adanya sunnah yang jelas dalam hal ini.” (Asy-Syarhul Mumti’, 1/105)

Bersiwak dengan Tangan Kanan atau Tangan Kiri?
Manakah yang lebih utama bersiwak dengan menggunakan tangan kanan atau tangan kiri?
Zainuddin Abul Fadhl Abdurrahim bin Al-Husain Al-‘Iraqi rahimahullahu berkata: “Sebagian orang belakangan dari kalangan Hanabilah yang pernah aku lihat menyebutkan bahwa ia bersiwak dengan tangan kanannya. Karena terdapat dalam sebagian jalan hadits ‘Aisyah radhiyallahu 'anha yang masyhur bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyenangi mendahulukan yang kanan ketika menyisir rambutnya, mengenakan sandal, bersuci, dan bersiwak.4
Saya sendiri pernah mendengar dari sebagian guru kami dari kalangan Syafi’iyyah bahwa perkaranya dibangun di atas permasalahan apakah siwak itu termasuk bab tath-hir (pensucian) dan tathyib (mewangi-wangikan), atau termasuk bab menghilangkan kotoran? Bila kita menganggapnya termasuk bab tath-hir dan tathyib maka disenangi menggunakan siwak dengan tangan kanan. Namun bila kita menganggapnya termasuk bab menghilangkan kotoran, maka disenangi menggunakannya dengan tangan kiri. Hal ini berdasarkan hadits ‘Aisyah radhiyallahu 'anha yang menyatakan bahwa tangan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang kanan beliau gunakan untuk bersuci dan untuk makan, sedangkan tangan kiri beliau gunakan untuk cebok dan untuk perkara yang bersentuhan dengan kotoran. Haditsnya diriwayatkan oleh Abu Dawud dengan sanad yang shahih.5 Abu Dawud meriwayatkan pula dari hadits Hafshah bintu ‘Umar radhiyallahu 'anhuma:

كَانَ يَجْعَلُ يَمِيْنَهُ لِطَعَامِهِ وَشَرَابِهِ وَثِيَابِهِ، وَيَجْعَلُ شِمَالَهُ لِمَا سِوَى ذلِكَ

“Beliau menggunakan tangan kanan beliau untuk makannya, minumnya dan berpakaiannya. Sedangkan tangan kiri beliau gunakan untuk selain itu.”6
Namun sebenarnya dalil yang dijadikan sandaran oleh kalangan Hanabilah tersebut7 tidaklah mendukung pendapatnya (yaitu bersiwak menggunakan tangan kanan). Karena yang dimaukan dengan hadits tersebut adalah memulai bagian/belahan kanan dalam bersisir, memulai kaki kanan dalam memakai sandal, memulai dengan anggota kanan dalam bersuci/wudhu, memulai dengan sisi yang kanan dari mulut dalam bersiwak sebagaimana telah lewat. Adapun bila dinyatakan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menggunakan tangan kanannya untuk melakukan hal itu, maka hal ini butuh penukilan (riwayat). Yang dzahir, bersiwak termasuk bab menghilangkan kotoran sebagaimana menghilangkan ingus dan semisalnya, maka dilakukan dengan tangan kiri.
Abul ‘Abbas Al-Qurthubi dari kalangan Malikiyyah secara jelas menyatakan pendapat ini. Beliau berkata dalam Al-Mufhim menghikayatkan dari Al-Imam Malik: “Tidak boleh bersiwak dalam masjid karena bersiwak termasuk menghilangkan kotoran. Wallahu a‘lam.” (Tharhut Tatsrib 1/233)
Namun larangan bersiwak dalam masjid ini tidak ada dalilnya, sehingga boleh dilakukan di dalam maupun di luar masjid bila memang diperlukan, berdasarkan keumuman hadits:

لَوْلاَ أَنْ أَشُقَّ عَلَى أُمَّتِي لأَمَرْتُهُمْ بِالسِّوَاكِ عِنْدَ كُلِّ صَلاَةٍ

“Seandainya aku tidak memberatkan umatku, niscaya aku perintahkan mereka untuk bersiwak setiap kali setiap kali hendak mengerjakan shalat.”
Namun, sepantasnya seseorang tidak berlebih-lebihan dalam melakukannya, hingga sampai pada tingkat hendak muntah padahal berada di masjid. Karena khawatir dia akan muntah atau mengeluarkan darah sehingga mengotori masjid. (Fatawa Al-Lajnah Ad-Da`imah lil Buhuts Al-‘Ilmiyyah wal Ifta`, no. 2432, 5/128)
Ibnu Qudamah rahimahullahu menyatakan disenanginya tayammun (mendahulukan bagian yang kanan) dalam bersiwak dan disenangi mencuci siwak dengan air untuk menghilangkan kotoran yang mungkin menempel padanya. Sebagaimana ‘Aisyah radhiyallahu 'anha mengabarkan:

كَانَ نَبْيُّ اللهِ صَلىَّ اللهِ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَسْتَاكُ فَيُعْطِيْنِي السِّوَاكَ لأَغْسِلَهُ، فَأَبْدَأُ بِهِ فَأَسْتاَكُ ثُمَّ أَغْسِلُهُ، ثُمَّ أَدْفَعُهُ إِلَيْهِ

“Nabiyullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersiwak, lalu memberiku siwak tersebut untuk kucuci. Lalu aku menggunakannya untuk bersiwak, kemudian mencucinya, setelahnya menyerahkannya kepada beliau8.” (HR. Abu Dawud no. 52). (Al-Mughni, kitab Ath-Thaharah, fashl Al-Istiyak ‘alal Asnan wal Lisan)
Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullahu berkata: “Ulama berbeda pendapat, apakah bersiwak dilakukan dengan tangan kanan atau tangan kiri. Sebagian mereka mengatakan: dengan tangan kanan, karena siwak itu sunnah. Sementara sunnah merupakan ketaatan dan amalan qurbah (mendekatkan diri) kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala. Dengan demikian bersiwak tidak dilakukan dengan tangan kiri, karena tangan kiri itu digunakan untuk menghilangkan kotoran, berdasarkan kaidah bahwa tangan kiri digunakan untuk kotoran sedangkan tangan kanan untuk yang selainnya. Apabila siwak ini dianggap ibadah maka asalnya dilakukan dengan tangan kanan.
Ulama yang lain mengatakan: ‘Bersiwak menggunakan tangan kiri lebih utama.’ Ini pendapat yang masyhur dalam madzhab ini (Hanabilah). Karena siwak itu untuk menghilangkan kotoran, sedangkan menghilangkan kotoran dilakukan dengan tangan kiri seperti halnya istinja` (cebok) dan istijmar (bersuci dengan menggunakan batu).
Sebagian Malikiyyah berkata: “Dalam hal ini dirinci. Bila ia bersiwak untuk mensucikan mulut sebagaimana bila ia bangun dari tidurnya atau menghilangkan makanan yang tersisa maka dia bersiwak dengan tangan kiri, karena berkaitan dengan menghilangkan kotoran. Bila ia bersiwak untuk memperoleh amalan sunnah maka dilakukan dengan tangan kanan, karena ia bersiwak dengan tujuan untuk melakukan qurbah (mendekatkan diri pada Allah), sebagaimana bila ia baru saja berwudhu dan ia bersiwak ketika wudhu, kemudian ia hendak mengerjakan shalat. Maka ia bersiwak untuk memperoleh pahala amalan sunnah.
(Namun yang benar, pent.) perkaranya lapang dan tidak dibatasi, karena tidak adanya nash yang jelas yang menetapkannya.” (Asy-Syarhul Mumti’, 1/105)

Boleh Bersiwak saat Berpuasa
Dalam hal ini ada hadits dari ‘Amir bin Rabi’ah radhiyallahu ‘anhu:

رَأَيْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَا لاَ أُحْصِي يَتَسَوَّكُ وَهُوَ صَائِمٌ

“Aku melihat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam beberapa kali yang tidak bisa aku hitung, beliau bersiwak dalam keadaan beliau puasa.”
Namun hadits yang diriwayatkan oleh Ar-Tirmidzi, Abu Dawud dan lain-lainnya ini dha’if/lemah, karena adanya perawi yang lemah sebagaimana dijelaskan dalam Irwa`ul Ghalil (hadits no. 68). Karena dha’if, berarti hadits ini tidak bisa dijadikan sebagai sandaran/hujjah.
Sehingga permasalahan bolehnya bersiwak ketika sedang puasa, kembali kepada dalil-dalil yang umum. Seperti hadits yang berisi anjuran untuk bersiwak ketika hendak shalat dan saat berwudhu.
Al-Imam At-Tirmidzi rahimahullahu menyatakan: “Al-Imam Asy-Syafi’i berpandangan bahwa tidak mengapa bagi orang yang berpuasa untuk bersiwak pada awal dan akhir siang. Sementara Al-Imam Ahmad dan Ishaq memakruhkannya bila dilakukan di akhir siang.” (Sunan At-Tirmidzi, kitab Ash-Shaum, bab Ma Ja’a fis Siwak lish-Sha`im)
Di antara yang berpendapat disunnahkannya bersiwak secara mutlak, saat puasa ataupun tidak, adalah Abu Hanifah dan Malik. Pendapat ini yang dipilih oleh Ibnu Taimiyyah. Dan pendapat ini yang penulis rajihkan. Al-Imam Asy-Syaukani berkata: “Yang benar adalah disunnahkan siwak bagi orang yang puasa, baik di awal siang ataupun di akhirnya. Ini merupakan madzhab jumhur.” (Nailul Authar, 1/159)
Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.
Catatan Kaki:
1 Isyarat dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada firman Allah Subhanahu wa Ta'ala:

وَمَنْ يُطِعِ اللهَ وَالرَّسُوْلَ فَأُولَئِكَ مَعَ الَّذِيْنَ أَنْعَمَ اللهُ عَلَيْهِمْ مِنَ النَّبِيِّيْنَ وَالصِّدِّيْقِيْنَ وَالشُّهَدَاءِ وَالصَّالِحِيْنَ وَحَسُنَ أُولَئِكَ رَفِيْقًا

“Siapa yang taat kepada Allah dan Rasul-Nya maka mereka itu bersama orang-orang yang Allah berikan kenikmatan kepada mereka dari kalangan para nabi, shiddiqin, syuhada dan orang-orang shalih. Mereka itu adalah sebaik-baik teman.” (An-Nisa`: 69)
2 Hadits di atas menunjukkan beberapa hal:
- Disenanginya menggunakan siwak yang basah
- Sebelum digunakan sebaiknya siwak diperbaiki/dibaguskan terlebih dahulu
- Boleh menggunakan siwak milik orang lain setelah dibersihkan
- Boleh bersiwak di hadapan orang lain, yakni bersiwak bukan perkara yang harus dilakukan dengan sembunyi-sembunyi. Seorang pemimpin/tokoh tidaklah tercela bila melakukannya di hadapan orang yang dipimpinnya/bawahannya sebagaimana Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai seorang rasul/imam dan pimpinan umat melakukannya di hadapan ‘Abdurrahman bin Abi Bakar Ash-Shiddiq radhiyallahu 'anhuma (Ihkamul Ahkam, kitab Thaharah, bab As-Siwak, Fathul Bari 1/464 )
3 Yakni mengeluarkan suara seperti orang yang hendak muntah, karena bersungguh-sungguhnya beliau bersiwak. (Fathul Bari, 1/463)
4 Haditsnya diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim, namun tanpa penyebutan bersiwak, tambahan ini ada dalam riwayat Abu Dawud, no. 4140
5 Dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani dalam Misykatul Mashabih, 1/348
6 Dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih Al-Jami‘ Ash-Shaghir, 2/4912
7Yaitu hadits yang menyatakan: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyenangi mendahulukan yang kanan ketika menyisir rambutnya, mengenakan sandal, bersucinya, dan bersiwaknya.
8 Dalam ‘Aunul Ma‘bud Syarah Abi Dawud disebutkan: “Setelah beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menggunakan siwak untuk membersihkan mulutnya, beliau menyerahkan kepada ‘Aisyah untuk dihilangkan kotoran yang mungkin menempel pada siwak tersebut agar tabiat itu tidak merasa jijik untuk menggunakannya pada kali yang lain. ‘Aisyah pun menyatakan: “Aku mencucinya”, yakni mencuci siwak tersebut untuk mengharumkan dan membersihkannya. “Aku menggunakannya”, kata ‘Aisyah, yakni memakai siwak tersebut pada mulutku sebelum dicuci agar mendapatkan barakah mulut Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam”. (Kitab Ath-Thaharah, bab Ghaslus Siwak)

25 January 2008

PANDUAN SINGKAT TENTANG BEKAM [CUPPING]




Anjuran Berbekam


Rasulullah Shallallahu ‘alayhi wa Salam besabda :


الشِّفَاءُ فِيْ ثَلاَثَةٍ: شَرْبَةِ عَسَلٍ وَشَرْطَةِ مِحْجَمٍ وَكَيَّةِ نَارٍ وَإِنِّيْ أَنْهَى أُمَّتِيْ عَنْ الْكَيِّ

“Kesembuhan itu berada pada tiga hal, yaitu minum madu, sayatan pisau bekam dan sundutan dengan api (kay). Sesungguhnya aku melarang ummatku (berobat) dengan kay.” (HR Bukhari)

Rasulullah Shallallahu ‘alayhi wa Salam bersabda :


إِنَّ أَمْثَلَ مَا تَدَاوَيْتُمْ بِهِ الْحِجَامَةُ وَالْفَصْدُ

“Sesungguhnya metode pengobatan yang paling ideal bagi kalian adalah hijamah (bekam) dan fashdu (venesection).” (HR Bukhari – Muslim)




Macam-Macam Bekam


Bekam Basah (Wet Cupping)

Yaitu metode pengeluaran darah kotor (blood letting) dengan cara disayat dengan silet, lanset, pisau bedah atau jarum steril pada bagian yang dibekam.


Cara Melakukan Bekam Basah :

Pilih titik bekam berdasarkan kondisi pasien.

Pilih gelas bekam (cup) berdasarkan tingkat penyakit pasien dan postur tubuh. Semakin besar gelas yang digunakan maka tingkat rasa sakit akan semakin besar, namun efeknya akan semakin baik.

Bersihkan bagian kulit yang akan dibekam dengan desinfektans/alkohol.

Pompa gelas bekam dengan piston pada posisi yang dikehendaki sebanyak 2-3 kali tarikan, atau sampai piston tidak dapat ditarik lagi.

Biarkan selama 3-5 menit.

Lepas gelas bekam dan sayat bagian bekas bekam dengan silet, lanset, pisau bedah atau jarum steril.

Bekam lagi posisi yang disayat tadi.

Tunggu selama lebih kurang 3 menit sampai darah keluar dan menumpuk pada gelas bekam.

Lepas gelas bekam dan buang darah kotor yang keluar, bersihkan kembali gelas bekam dan desinfeksi.

Bekam lagi sebanyak 3-5 kali, atau sampai keluar cairan putih dari kulit.

Oles bekas sayatan dan bekam dengan minyak habbatus sauda’ (jinten hitam).

Lakukan setiap bulan atau setiap 2 minggu bagi yang penyakitnya parah.



Bekam Kering (Dry Cupping)

Yaitu metode bekam yang tidak mengeluarkan darah dari tubuh.


Cara Melakukan Bekam Kering :

Pilih titik bekam berdasarkan kondisi pasien.

Pilih gelas bekam (cup) berdasarkan tingkat penyakit pasien dan postur tubuh. Semakin besar gelas yang digunakan maka tingkat rasa sakit akan semakin besar, namun efeknya akan semakin baik.

Pijat bagian yang akan dibekam dengan dilumuri minyak zaitun atau minyak jinten hitam selama lebih kurang 5 menit.

Pompa gelas bekam dengan piston pada posisi yang dikehendaki sebanyak 2-3 kali tarikan, atau sampai piston tidak dapat ditarik lagi.

Biarkan selama 10 menit (bagi pria), 7 menit (bagi wanita) atau 3 menit (bagi anak-anak).

Lepas gelas bekam dan pijat kembali dengan minyak zaitun atau minyak jinten hitam selama 2-3 menit untuk menghilangkan bercak-bercak hitam atau blister.

Lakukan selama 7 hari bagi orang dewasa dan 5 hari bagi anak-anak, kemudian diselingi masa interval selama 3 hari, lalu dilanjutkan lagi pembekaman.


Bekam Seluncur (Sliding Cupping)

Yaitu metode bekam yang mana gelas bekam diseluncurkan di atas permukaan kulit yang rata (tidak tebal ototnya). Metode ini serupa dengan Guasha (cina), scrapping (inggris) atau kerokan (jawa), namun lebih aman karena tidak merusak pori-pori sebagaimana kerokan.


Cara Melakukan Bekam Seluncur :

Pilih titik bekam sebagai awalan seluncur, biasanya bagian atas pundak.

Pilih gelas bekam (cup) berdasarkan tingkat penyakit pasien dan postur tubuh. Semakin besar gelas yang digunakan maka tingkat rasa sakit akan semakin besar, namun efeknya akan semakin baik.

Pijat bagian yang akan dibekam dengan dilumuri minyak zaitun atau minyak jinten hitam selama lebih kurang 5 menit. Oleskan minyak agak banyak sebagai pelumas

Pompa gelas bekam dengan piston pada posisi yang dikehendaki sebanyak 2-3 kali tarikan kemudian gerakkan/seluncurkan perlahan-lahan sampai tampak bruise (memar) kemerahan.

Lepas gelas bekam dan pijat kembali dengan minyak zaitun atau minyak jinten hitam selama 2-3 menit.


Bekam Cepat (Flash Cupping) atau Bekam Tarik

Yaitu metode bekam dengan cara tarik lepas – tarik lepas secara cepat pada bagian kulit yang sukar dibekam, atau apabila dibekam gelas cenderung jatuh. Area ini biasanya di sekitar wajah dan dahi.


Cara Melakukan Bekam Cepat :

Pilih titik bekam pada dahi atau bagian yang nyeri.

Pilih gelas bekam (cup) yang proporsional dengan lebar dahi (tidak terlalu besar).

Pompa gelas bekam dengan piston pada posisi yang dikehendaki secukupnya kemudian lepas.

Lakukan hal ini secara berulang-ulang sampai kulit berwarna kemerahan.



Diagnosis Penyakit Dengan Bekam


Diagnosa bekam/cupping dapat dilihat dari warna pigmen kulit setelah pembekaman. Di dalam buku “Canon of Internal Medicine” dikatakan, “Kondisi organ internal (organ dalam) dapat diketahui dengan cara mengobservasi (mengamati) gejala-gejala eksternal dan tanda-tanda fisik, sehingga penyakitnya dapat didiagnosa.”


Reaksi pigmen pada kulit bekas bekam adalah sebagai berikut :

Bekas bekam yang muncul berwarna ungu kegelapan atau hitam, pada umumnya hal ini mengindikasikan kondisi defisiensi (kekurangan) pasokan/suplai darah dan channel/saluran (pembuluh) darah yang tidak lancar yang disertai dengan keberadaan darah statis (darah beku).

Bekas bekam yang muncul berwarna ungu disertai plaque (bercak-bercak), pada umumnya hal ini menandakan terjadinya gangguan/ kelainan gumpalan darah yang berwarna keunguan dan adanya darah statis (darah beku).

Bekas bekam yang muncul berbentuk bintik-bintik ungu yang tersebar dengan tingkatan warna yang berbeda (ada yang tua dan ada yang ungu muda). Hal ini menandakan kelainan “Qi” dan darah statis.

Bekas bekam yang muncul berwarna merah cerah, biasanya hal ini menunjukkan terjadinya defisiensi “Yin”, defisiensi “Qi” dan darah atau rasa panas yang dahsyat yang diinduksi oleh defisiensi “Yin”.

Bekas bekam yang muncul berwerna merah gelap, hal ini mengindikasikan kondisi lemak di dalam darah yang tinggi disertai dengan adanya panas patogen.

Bekas bekam yang muncul berwarna agak pucat/putih dan tidak hangat ketika disentuh, hal ini mengindikasikan terjadinya defisiensi cold (dingin) dan adanya gas patogen.

Adanya garis-garis pecah/ruam pada permukaan bekas bekam dan rasa sedikit gatal, hal ini mengindikasikan kondisi adanya wind (lembab) patogen dan gangguan gas patogen.

Munculnya uap air pada dinding bagian dalam gelas bekam, menandakan kondisi adanya gas-gas patogen pada daerah tersebut.

Adanya blister (lepuhan/lecat) pada bekas bekam, menggambarkan kondisi gangguan gas yang parah pada tubuh. Adanya darah tipis pada blister merupakan reaksi gas panas toksin.



Beberapa hal yang perlu diperhatikan di dalam bekam


Pastikan bahwa gelas bekam sudah steril dan higinis sehingga aman untuk bekam (terutama bekam basah).

Untuk pasien yang belum pernah dibekam sebelumnya, pilihlah gelas bekam dari yang terkecil lalu ke yang besar supaya tidak terlalu sakit.

Posisi bekam dapat dilakukan dengan duduk atau berbaring menelungkup. Posisi duduk lebih baik untuk peredaran darah, namun bagi pasien yang lemah dianjurkan dengan posisi berbaring.

Untuk pasien yang baru dibekam, sering-seringlah menanyai bagaimana keadaannya, apakah merasa mulas, pusing, mual atau adanya tanda-tanda akan pingsan lainnya. Segera hentikan bekam apabila pasien mengeluh kesakitan.

Setelah bekam dihadapkan beristirahat yang cukup. Sebagian pasien segera merasa segar badannya setelah berbekam pada bagian punggung dan lutut, sehingga ia tidak mau beristirahat sebagaimana mestinya, hal ini dapat menyebabkan kembalinya penyakit.

Sebagian orang merasakan suhu badannya naik setelah 1-2 hari setelah berbekam, hal ini adalah normal dan akan segera hilang.

Pasien yang menderita sakit menular atau infeksius agar diberikan perhatian khusus. Bagi penderita penyakit infeksius, diharap gelas bekamnya adalah tersendiri (single use) dan juru bekam dianjurkan menggunakan pelindung tubuh seperti sarung tangan karet (gloves), masker dan semisalnya.

Pasien yang menderita tekanan darah rendah harus diperlakukan ekstra dan hati-hati. Tingkat kesadarannya selalu dimonitor agar tidak pingsan. Dihindarkan membekam pada areal punggung bawah yang sejajar dengan pusar ke bawah, karena hal ini bisa menurunkan tekanan darah dengan cepat.

Permukaan kulit yang timbul blister kecil, bercak-bercak, noda darah dan darah stasis adalah reaksi normal setelah bekam. Apabila blister yang timbul banyak dan besar-besar (seperti luka bakar), maka dapat dipecah dengan cara menusukkan jarum steril kering hingga keluar cairannya (cairan limfoid) lalu didesinfeksi dengan desinfektans. Lebih dianjurkan apabila bekas bekam yang berblister ini dipijat lembut dengan minyak zaitun atau jinten hitam.

Pasien yang mengalami mental stres, ketakutan, mual dan gejala mental lainnya, dihentikan pembekaman dan pasien disuruh berbaring relaks, tenang dan diberi minum dengan minuman manis (lebih baik madu) kemudian dimotivasi dan disugesti untuk menghilangkan atau meminimalisir gangguan mentalnya.



Larangan-Larangan Bekam


Tidak dianjurkan melakukan bekam basah pada penderita diabetes kecuali juru bekam yang ahli dan berpengalaman.

Jangan membekam orang yang fisiknya sangat lemah atau orang yang kelelahan (overfatigue).

Jangan membekam orang yang menderita penyakit kulit merata atau menderita alergi kulit yang parah seperti ulserasi dan edema.

Jangan membekam orang yang sudah jompo yang lemah fisiknya dan anak-anak yang tubuhnya lemah atau di bawah 3 tahun.

Penderita leukimia (kanker darah) tidak dianjurkan untuk dibekam basah.

Penderita hepatitis yang parah, TBC aktif, hemofilia, malignant anemia, trombositopenia dan penyakit lainnya yang parah tidak dianjurkan dibekam kecuali kepada juru bekam yang ahli dan berpengalaman.

Jangan memberkam pada kondisi : perut kekenyangan, kehausan, kelaparan, kelelahan, setelah beraktivitas berat, tubuh lemah dan tubuh demam (kedinginan).

Jangan membekam wanita hamil pada usia kehamilan 3 bulan pertama (trimester awal).

Jangan membekam langsung pada daerah yang luka, urat sendi robek, patah tulang, varises, tumor.

Jangan membekam wanita yang sedang haidh dan nifas.

Jangan memberkam daerah perut terlalu keras

Jangan membekam pasien yang mengkonsumsi obat pelancar dan pengencer darah semisal mengkudu, omega 3, dls.

Jangan melakukan bekam langsung setelah makan, pembekaman dapat dilakukan minimal dua jam setelah makan. Setelah bekam juga jangan langsung makan, melainkan hanya minum yang manis-manis semisal madu atau selainnya

Tidak dianjurkan melakukan pembekaman kepada orang yang menderita klep jantung, kecuali di bawah pengawasan dokter atau ahli bekam yang berpengalaman.

Jangan melakukan bekam langsung setelah mandi, terutama setelah mandi dengan air dingin. Tidak dianjurkan langsung mandi setelah bekam, melainkan setelah 2 jam. Dianjurkan mandi dengan air hangat.

Jangan membekam basah orang yang baru memberikan donor darah atau orang yang baru kecelakaan sehingga darahnya berkurang.

Jangan membekam pasien diabetes (gula darah di atas 280) kecuali oleh orang yang ahli.

Jangan membekam di area terbuka atau tempat yang dingin. Lebih baik melakukan bekam di ruang yang hangat atau bersuhu normal ruangan.

Dilarang membekam area berikut :

Lubang alamiah tubuh : mata, hidung, telinga, mulut, kemaluan, anus, puting susu.

Daerah sistem nodus limfa yang berfungsi sebagai penghasil antibodi, yaitu di submaksilari, korvikal, sudmalaonkular, aksilari, bagian detak jantung, nodus inguinalglimfa (lihat buku panduan biru hal. 13).

Daerah yang dekat dengan pembuluh besar (big vessels).

21 January 2008

AL QUR'AN, OBAT SEGALA PENYAKIT


Penulis: Al-Ustadz Abu Karimah Askari bin Jamal Al-Bugisi


وَنُنَزِّلُ مِنَ الْقُرْآنِ مَا هُوَ شِفَاءٌ وَرَحْمَةٌ لِلْمُؤْمِنِيْنَ وَلاَ يَزِيْدُ الظَّالِمِيْنَ إِلاَّ خَسَارًا

“Dan Kami turunkan dari Al-Qur`an suatu yang menjadi penyembuh dan rahmat bagi orang-orang yang beriman dan Al-Qur`an itu tidaklah menambah kepada orang-orang yang dzalim selain kerugian.” (Al-Isra`: 82)

Penjelasan Beberapa Mufradat Ayat




نُنَزِّلُ

“Kami turunkan.” Jumhur ahli qiraah membacanya dengan diawali nun dan bertasydid. Adapun Abu ‘Amr membacanya dengan tanpa tasydid (نُنْزِلُ). Sedangkan Mujahid membacanya dengan diawali huruf ya` dan tanpa tasydid (يُنْزِلُ). Al-Marwazi juga meriwayatkan demikian dari Hafs. (Tafsir Al-Qurthubi, 10/315 dan Fathul Qadir, Asy-Syaukani, 3/253)

مِنَ الْقُرْآنِ

“dari Al-Qur`an.” Kata min (مِنْ) dalam ayat ini, menurut pendapat yang rajih (kuat), menjelaskan jenis dan spesifikasi yang dimiliki Al-Qur`an. Kata min di sini tidak bermakna “sebagian”, yang mengesankan bahwa di antara ayat-ayat Al-Qur`an ada yang tidak termasuk syifa` (penawar), sebagaimana yang dirajihkan oleh Ibnul Qayyim rahimahullahu. Kata min pada ayat ini seperti halnya yang terdapat dalam firman-Nya:

وَعَدَ اللهُ الَّذِيْنَ آمَنُوا مِنْكُمْ وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ لَيَسْتَخْلِفَنَّهُمْ فِي اْلأَرْضِ

“Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang shalih bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di bumi...” (An-Nur: 55)
Kata min dalam lafadz مِنْكُمْ tidaklah bermakna sebagian, sebab mereka seluruhnya adalah orang-orang yang beriman dan beramal shalih. (Lihat Tafsir Al-Qurthubi, 10/316, Fathul Qadir, 3/253, dan At-Thibb An-Nabawi, Ibnul Qayyim, hal. 138)

شِفَاءٌ


“Penyembuh.” Penyembuh yang dimaksud di sini meliputi penyembuh atas segala penyakit, baik rohani maupun jasmani, sebagaimana yang akan dijelaskan dalam tafsirnya.




Penjelasan Tafsir Ayat

Ibnu Katsir rahimahullahu berkata: “Allah Subhanahu wa Ta'ala mengabarkan tentang kitab-Nya yang diturunkan kepada Rasul-Nya Shallallahu 'alaihi wa sallam, yaitu Al-Qur`an, yang tidak terdapat kebatilan di dalamnya baik dari sisi depan maupun belakang, yang diturunkan dari Yang Maha Bijaksana lagi Maha Terpuji, bahwa sesungguhnya Al-Qur`an itu merupakan penyembuh dan rahmat bagi kaum mukminin. Yaitu menghilangkan segala hal berupa keraguan, kemunafikan, kesyirikan, penyimpangan, dan penyelisihan yang terdapat dalam hati. Al-Qur`an-lah yang menyembuhkan itu semua. Di samping itu, ia merupakan rahmat yang dengannya membuahkan keimanan, hikmah, mencari kebaikan dan mendorong untuk melakukannya. Hal ini tidaklah didapatkan kecuali oleh orang yang mengimani, membenarkan, serta mengikutinya. Bagi orang yang seperti ini, Al-Qur`an akan menjadi penyembuh dan rahmat.
Adapun orang kafir yang mendzalimi dirinya sendiri, maka tatkala mendengarkan Al-Qur`an tidaklah bertambah baginya melainkan semakin jauh dan semakin kufur. Dan sebab ini ada pada orang kafir itu, bukan pada Al-Qur`annya. Seperti firman Allah Subhanahu wa Ta'ala:

قُلْ هُوَ لِلَّذِيْنَ آمَنُوا هُدًى وَشِفَاءٌ وَالَّذِيْنَ لاَ يُؤْمِنُوْنَ فِي آذَانِهِمْ وَقْرٌ وَهُوَ عَلَيْهِمْ عَمًى أُولَئِكَ يُنَادَوْنَ مِنْ مَكَانٍ بَعِيْدٍ

“Katakanlah: ‘Al-Qur`an itu adalah petunjuk dan penawar bagi orang-orang yang beriman. Dan orang-orang yang tidak beriman pada telinga mereka ada sumbatan, sedang Al-Qur`an itu suatu kegelapan bagi mereka. Mereka itu adalah (seperti) orang-orang yang dipanggil dari tempat yang jauh’.” (Fushshilat: 44)
Dan Allah Subhanahu wa Ta'ala juga berfirman:

وَإِذَا مَا أُنْزِلَتْ سُوْرَةٌ فَمِنْهُمْ مَنْ يَقُوْلُ أَيُّكُمْ زَادَتْهُ هَذِهِ إِيْمَانًا فَأَمَّا الَّذِيْنَ آمَنُوا فَزَادَتْهُمْ إِيْمَانًا وَهُمْ يَسْتَبْشِرُوْنَ. وَأَمَّا الَّذِيْنَ فِيْ قُلُوْبِهِمْ مَرَضٌ فَزَادَتْهُمْ رِجْسًا إِلَى رِجْسِهِمْ وَمَاتُوا وَهُمْ كَافِرُوْنَ

“Dan apabila diturunkan suatu surat, maka di antara mereka (orang-orang munafik) ada yang berkata: ‘Siapakah di antara kamu yang bertambah imannya dengan (turunnya) surat ini?’ Adapun orang-orang yang beriman, maka surat ini menambah imannya, sedang mereka merasa gembira. Adapun orang-orang yang di dalam hati mereka ada penyakit, maka dengan surat itu bertambah kekafiran mereka, di samping kekafirannya (yang telah ada) dan mereka mati dalam keadaan kafir.” (At-Taubah: 124-125)
Dan masih banyak ayat-ayat yang menjelaskan tentang hal ini.” (Tafsir Ibnu Katsir, 3/60)
Al-’Allamah Abdurrahman As-Sa’di rahimahullahu berkata pula dalam menjelaskan ayat ini:
“Al-Qur`an mengandung penyembuh dan rahmat. Dan ini tidak berlaku untuk semua orang, namun hanya bagi kaum mukminin yang membenarkan ayat-ayat-Nya dan berilmu dengannya. Adapun orang-orang dzalim yang tidak membenarkan dan tidak mengamalkannya, maka ayat-ayat tersebut tidaklah menambah baginya kecuali kerugian. Karena, hujjah telah ditegakkan kepadanya dengan ayat-ayat itu.
Penyembuhan yang terkandung dalam Al-Qur`an bersifat umum meliputi penyembuhan hati dari berbagai syubhat, kejahilan, berbagai pemikiran yang merusak, penyimpangan yang jahat, dan berbagai tendensi yang batil. Sebab ia (Al-Qur`an) mengandung ilmu yakin, yang dengannya akan musnah setiap syubhat dan kejahilan. Ia merupakan pemberi nasehat serta peringatan, yang dengannya akan musnah setiap syahwat yang menyelisihi perintah Allah Subhanahu wa Ta'ala. Di samping itu, Al-Qur`an juga menyembuhkan jasmani dari berbagai penyakit.
Adapun rahmat, maka sesungguhnya di dalamnya terkandung sebab-sebab dan sarana untuk meraihnya. Kapan saja seseorang melakukan sebab-sebab itu, maka dia akan menang dengan meraih rahmat dan kebahagiaan yang abadi, serta ganjaran kebaikan, cepat ataupun lambat.” (Taisir Al-Karim Ar-Rahman, hal. 465)

Al-Qur`an Menyembuhkan Penyakit Jasmani



Suatu hal yang menjadi keyakinan setiap muslim bahwa Al-Qur`anul Karim diturunkan Allah Subhanahu wa Ta'ala untuk memberi petunjuk kepada setiap manusia, menyembuhkan berbagai penyakit hati yang menjangkiti manusia, bagi mereka yang diberi hidayah oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala dan dirahmati-Nya. Namun apakah Al-Qur`an dapat menyembuhkan penyakit jasmani?
Dalam hal ini, para ulama menukilkan dua pendapat: Ada yang mengkhususkan penyakit hati; Ada pula yang menyebutkan penyakit jasmani dengan cara meruqyah, ber-ta’awudz, dan semisalnya. Ikhtilaf ini disebutkan Al-Qurthubi dalam Tafsir-nya. Demikian pula disebutkan Asy-Syaukani dalam Fathul Qadir, lalu beliau berkata: “Dan tidak ada penghalang untuk membawa ayat ini kepada dua makna tersebut.” (Fathul Qadir, 3/253)
Pendapat ini semakin ditegaskan Syaikhul Islam Ibnul Qayyim rahimahullahu dalam kitabnya Zadul Ma’ad:
“Al-Qur`an adalah penyembuh yang sempurna dari seluruh penyakit hati dan jasmani, demikian pula penyakit dunia dan akhirat. Dan tidaklah setiap orang diberi keahlian dan taufiq untuk menjadikannya sebagai obat. Jika seorang yang sakit konsisten berobat dengannya dan meletakkan pada sakitnya dengan penuh kejujuran dan keimanan, penerimaan yang sempurna, keyakinan yang kokoh, dan menyempurnakan syaratnya, niscaya penyakit apapun tidak akan mampu menghadapinya selama-lamanya. Bagaimana mungkin penyakit tersebut mampu menghadapi firman Dzat yang memiliki langit dan bumi. Jika diturunkan kepada gunung, maka ia akan menghancurkannya. Atau diturunkan kepada bumi, maka ia akan membelahnya. Maka tidak satu pun jenis penyakit, baik penyakit hati maupun jasmani, melainkan dalam Al-Qur`an ada cara yang membimbing kepada obat dan sebab (kesembuhan) nya.”(Zadul Ma’ad, 4/287)

Berikut ini kami sebutkan beberapa riwayat berkenaan tentang pengobatan dengan Al-Qur`an.
Di antaranya adalah apa yang diriwayatkan Al-Bukhari, Muslim, dan lainnya dari hadits ‘Aisyah radhiallahu 'anha.Beliau radhiallahu 'anha berkata: “Adalah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam terkena sihir[1], sehingga beliau menyangka bahwa beliau mendatangi istrinya padahal tidak mendatanginya.
Lalu beliau berkata: ‘Wahai ‘Aisyah, tahukah kamu bahwa Allah Subhanahu wa Ta'ala telah mengabulkan permohonanku? Dua lelaki telah datang kepadaku. Kemudian salah satunya duduk di sebelah kepalaku dan yang lain di sebelah kakiku. Yang di sisi kepalaku berkata kepada yang satunya: ‘Kenapa beliau?’
Dijawab: ‘Terkena sihir.’
Yang satu bertanya: ‘Siapa yang menyihirnya?’
Dijawab: ‘Labid bin Al-A’sham, lelaki dari Banu Zuraiq sekutu Yahudi, ia seorang munafiq.’
(Yang satu) bertanya: ‘Dengan apa?’
Dijawab: ‘Dengan sisir, rontokan rambut.’
(Yang satu) bertanya: ‘Di mana?’
Dijawab: ‘Pada mayang korma jantan di bawah batu yang ada di bawah sumur Dzarwan’.”
'Aisyah radhiallahu 'anha lalu berkata: “Nabi lalu mendatangi sumur tersebut hingga beliau mengeluarkannya. Beliau lalu berkata: ‘Inilah sumur yang aku diperlihatkan seakan-akan airnya adalah air daun pacar dan pohon kormanya seperti kepala-kepala setan’. Lalu dikeluarkan. Aku bertanya: ‘Mengapa engkau tidak mengeluarkannya (dari mayang korma jantan tersebut, pen.)?’ Beliau menjawab: ‘Demi Allah, sungguh Allah telah menyembuhkanku dan aku membenci tersebarnya kejahatan di kalangan manusia’.”
Hadits ini diriwayatkan Al-Bukhari dalam Shahih-nya (kitab At-Thib, bab Hal Yustakhrajus Sihr? jilid 10, no. 5765, bersama Al-Fath). Juga dalam Shahih-nya (kitab Al-Adab, bab Innallaha Ya`muru Bil ‘Adl, jilid 10, no. 6063). Juga diriwayatkan oleh Al-Imam Asy-Syafi’i sebagaimana yang terdapat dalam Musnad Asy-Syafi’i (2/289, dari Syifa`ul ‘Iy), Al-Asfahani dalam Dala`ilun Nubuwwah (170/210), dan Al-Lalaka`i dalam Syarah Ushul I’tiqad Ahlis Sunnah (2/2272). Namun ada tambahan bahwa ‘Aisyah berkata: “Dan turunlah (firman Allah Subhanahu wa Ta'ala):

قُلْ أَعُوْذُ بِرَبِّ الْفَلَقِ. مِنْ شَرِّ مَا خَلَقَ

Hingga selesai bacaan surah tersebut.”

Demikian pula yang diriwayatkan Al-Imam Bukhari rahimahullahu dalam Shahih-nya, dari hadits Abu Sa’id Al-Khudri radhiallahu 'anhu, beliau berkata:
“Sekelompok2 shahabat Nabi berangkat dalam suatu perjalanan yang mereka tempuh. Singgahlah mereka di sebuah kampung Arab. Mereka pun meminta agar dijamu sebagai tamu, namun penduduk kampung tersebut enggan menjamu mereka.
Selang beberapa waktu kemudian, pemimpin kampung tersebut terkena sengatan (kalajengking). Penduduk kampung tersebut pun berusaha mencari segala upaya penyembuhan, namun sedikitpun tak membuahkan hasil. Sebagian mereka ada yang berkata: ‘Kalau sekiranya kalian mendatangi sekelompok orang itu (yaitu para shahabat), mungkin sebagian mereka ada yang memiliki sesuatu.’
Mereka pun mendatanginya, lalu berkata: “Wahai rombongan, sesungguhnya pemimpin kami tersengat (kalajengking). Kami telah mengupayakan segala hal, namun tidak membuahkan hasil. Apakah salah seorang di antara kalian memiliki sesuatu? Sebagian shahabat menjawab: ‘Iya. Demi Allah, aku bisa meruqyah. Namun demi Allah, kami telah meminta jamuan kepada kalian namun kalian tidak menjamu kami. Maka aku tidak akan meruqyah untuk kalian hingga kalian memberikan upah kepada kami.’
Mereka pun setuju untuk memberi upah beberapa ekor kambing[3]. Maka dia (salah seorang shahabat) pun meludahinya dan membacakan atas pemimpin kaum itu Alhamdulillahi rabbil ‘alamin (Al-Fatihah). Pemimpin kampung tersebut pun merasa terlepas dari ikatan, lalu dia berjalan tanpa ada gangguan lagi.
Mereka lalu memberikan upah sebagaimana telah disepakati. Sebagian shahabat berkata: ‘Bagilah.’ Sedangkan yang meruqyah berkata: ‘Jangan kalian lakukan, hingga kita menghadap Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam lalu kita menceritakan kepadanya apa yang telah terjadi. Kemudian menunggu apa yang beliau perintahkan kepada kita.’
Merekapun menghadap Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam kemudian melaporkan hal tersebut. Maka beliau bersabda: ‘Tahu dari mana kalian bahwa itu (Al-Fatihah, pen.) memang ruqyah?’ Lalu beliau berkata: ‘Kalian telah benar. Bagilah (upahnya) dan berilah untukku bagian bersama kalian’, sambil beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam tertawa.”

Adapun hadits yang diriwayatkan bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

خَيْرُ الدَّوَاءِ الْقُرْآنُ

“Sebaik-baik obat adalah Al-Qur`an.”
Dan hadits:

الْقُرْآنُ هُوَ الدَّوَاءُ

“Al-Qur`an adalah obat.”
Keduanya adalah hadits yang dha’if, telah dilemahkan oleh Al-Allamah Al-Albani rahimahullahu dalam Dha’if Al-Jami’ Ash-Shagir, no. 2885 dan 4135.

Membuka Klinik Ruqyah???

Di antara penyimpangan terkait dengan ruqyah adalah menjadikannya sebagai profesi, seperti halnya dokter atau bidan yang membuka praktek khusus. Ini merupakan amalan yang menyelisihi metode ruqyah di zaman Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Asy-Syaikh Shalih Alus Syaikh berkata ketika menyebutkan beberapa penyimpangan dalam meruqyah:
“Pertama, dan yang paling besar (kesalahannya), adalah menjadikan bacaan (untuk penyembuhan) atau ruqyah sebagai sarana untuk mencari nafkah, di mana dia memfokuskan diri secara penuh untuk itu. Memang telah dimaklumi bahwa manusia membutuhkan ruqyah. Namun memfokuskan diri untuk itu, bukanlah bagian dari petunjuk para shahabat di masanya. Padahal di antara mereka ada yang sering meruqyah. Namun bukan demikian petunjuk para shahabat dan tabi’in.
(Menjadikan meruqyah sebagai profesi) baru muncul di masa-masa belakangan. Petunjuk Salaf dan bimbingan As-Sunnah dalam meruqyah adalah seseorang memberikan manfaat kepada saudara-saudaranya, baik dengan upah ataupun tidak. Namun janganlah dia memfokuskan diri dan menjadikannya sebagai profesi seperti halnya dokter yang mengkhususkan dirinya (pada perkara ini). Ini baru dari sudut pandang bahwa hal tersebut tidak terdapat (contohnya) pada zaman generasi pertama.
Demikian pula dari sisi lainnya. Apa yang kami saksikan pada orang-orang yang mengkhususkan diri (dalam meruqyah) telah menimbulkan banyak hal terlarang. Siapa yang mengkhususkan dirinya untuk meruqyah, niscaya engkau mendapatinya memiliki sekian penyimpangan. Sebab dia butuh prasyarat-prasyarat tertentu yang harus dia tunaikan dan yang harus dia tinggalkan. Serta ‘menjual’ tanpa petunjuk. Barangsiapa meruqyah melalui kaset-kaset, suara-suara, di mana dia membaca di sebuah kamar, sementara speaker berada di kamar yang lain, dan yang semisalnya, merupakan hal yang menyelisihi nash. Ini sepantasnya dicegah untuk menutup pintu (penyimpangan). Sebab sangat mungkin akan menjurus kepada hal-hal tercela dari para peruqyah yang mempopulerkan perkara-perkara yang terlarang atau yang tidak diperkenankan syariat. (Ar-Ruqa Wa Ahkamuha, Asy-Syaikh Shalih Alus Syaikh, hal. 20-21)

1 Sebagian para pengekor hawa nafsu dari kalangan orientalis dan ahli bid’ah mengingkari hadits yang menjelaskan bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah terkena sihir, dan berusaha menolaknya dengan berbagai alasan batil. Dan telah kami bantah –walhamdulillah- para penolak hadits ini dalam sebuah kitab yang berjudul Membedah Kebohongan Ali Umar Al-Habsyi Ar-Rafidhi, Bantahan ilmiah terhadap kitab: Benarkah Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah tersihir? Dan kami membahas secara rinci menurut ilmu riwayat maupun dirayah hadits. Silahkan merujuk kepada kitab tersebut.
2 Dalam riwayat lain mereka berjumlah 30 orang.
3 Dalam riwayat lain: 30 ekor kambing, sesuai jumlah mereka.
http://www.asysyariah.com/print.php?id_online=360